SELAMAT DATANG DI BLOG KEPERAWATAN SEMOGA ILMU YANG SAYA BAGIKAN DAPAT BEERMANFAAT BAGI ANDA SEMUA

Jumat, 09 Januari 2015

MAKALAH TRAUMA THORAX

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena, organ apa yang cedera, dan bagaimana derajat kerusakannya perlu diketahui biomekanik trauma.(1)
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselarasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia. Akibat cedera ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera musculoskletal, dan kerusakan organ.(1)
Trauma thorax sering ditemukan. Sekitar 25% dari penderita multi-trauma ada komponen trauma thorax. 90% dari penderita dengan trauma thorax ini dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter di Rumah Sakit (atau paramedic di lapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.(1)
Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas bermakna. Sebagian besar pasien meninggal setelah sampai di Rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.(2)







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.        Anatomi
Thorax adalah bagian atas batang tubuh yang terletak antara leher dan abdomen. Cavitas thoracis dibatasi oleh dinding thorax, berisi timus, jantung (cor), paru (pulmo), bagian distal trakea dan bagian besar esofagus. Dinding thorax terdiri dari kulit, fasia, saraf, otot, dan tulang.(3)
Kerangka dinding thorax
Sifat khusus vertebra thorax mencakup : fovea costalis pada corpus vertebrae untuk bersendi dengan tuberculum costae, kecuali pada dua atau tiga kosta terkaudal, processus spinosus yang panjang.(3)









Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilagineus yang melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar). Kerangka thorax terdiri dari : vertebra thoraxika (12) dan diskus intervertebralis, costa (12 pasang) dan cartilago costalis, sternum.(3)
a.       Costae
Costae adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian terbesar sangkar dada. Tujuh atau delapan kosta pertama disebut costae sejati  (vertebrosternal) karena menghubungkan vertebra dengan sternum melalui kartilago kostalisnya. Costae VIII sampai costae X adalah costae tak sejati (vertebrokondral) karena kartilago kostalis tepat diatasnya. Costae XI dan XII adalah costae bebas atau costae melayang karena ujung kartilago kostalis masing-masing costae berakhir dalam susunan otot abdomen dorsal.(3)
Cartilago costalis memperpanjang costae kearah ventral dan turut menambah kelenturan dinding thorax. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya fraktur pada sternum atau costae karena benturan. Costae berikut cartilago costalis-nya terpisah dari satu yang lain oleh spatium intercostale yang berisi muskulus interkostalis, arteria interkostalis, vena interkostalis, dan nervus intercostalis.(3)
Bagian costae terlemah, terletak tepat ventral terhadap angulus costae. Fraktur costae umumnya terjadi secara langsung karena benturan, atau secara tidak langsung karena cedera yang mememarkan. Rudapaksa langsung dapat menyebabkan fraktur di sembarang tempat pada costae, dan ujung patahan dapat mencederai organ dalam (misalnya paru-paru dan atau limpa).(3)
b.      Sternum
Sternum adalah tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral sangkar dada. Sternum terdiri dari tiga bagian : manubrim sterni, korpus sterni, dan processus xyphoideus.(3)
Manubrium sterni berbentuk sperti segitiga, terletak setinggi vertebra T-III dan vertebra T-IV. Corpus sterni berbentuk panjang, sempit, dan lebih tipis dari manubrium sterni. Bagian ini terletak setinggi vertebra (T-V) - (T-IX). Processus xyphoideus, bagian sternum terkecil dan paling variabel, berupa tulang rawan pada orang muda, tetapi pada usia lebih daripada 40 tahun sedikit banyak menulang.(3)
Fraktur sternum umum terjadi setelah kompresi traumatik pada dinding thorax (misalnya pada kecelakaan lalu lintas, jika dada pengemudi terdorong pada batang kemudi). Umumnya korpus sterni yang mengalami fraktur, dan biasanya bersifat fraktur komunitiva artinya terpecah berkeping-keping. Pemasangan kantong udara dalam kendaraan otomotif telah menurunkan frekuensi fraktur sternum dan wajah.
Untuk memasuki kavitas torasis pada bedah jantung dan pembuluh besar, sternum dibelah dalam bidang median. Corpus sterni seringkali dimanfaatkan untuk biopsi sumsum tulang dengan jarum karena lebarnya dan letakya yang superfisial.(3)




c.       Appertura thoracis
Cavitas thoracis berhubungan dengan leher melalui apertura thoracis superior yang berbentuk seperti ginjal. Apertura thoracis superior ini yang terletak miring, dilalui oleh struktur yang memasuki atau meninggalkan cavitas thoracis, yakni tenggorok (trakea) , kerongkongan (esofagus), pembuluh dan saraf.(3)

Cavitas torasis berhubungan dengan abdomen melalui apertura torasis inferior yang ditutup oleh diafragma. Struktrur-struktur yang berlalu ke dan dari kavitas torasis, dari dan ke kavitas abdominis melewati diafragma (misalnya vena kava inferior) atau di belakangnya (misalnya aorta).(3)
d.     
Otot saraf dan vaskularisasi dinding thorax

Spatium intercostale yang khas berisi tiga lapis muskulus interkostalis. Lapis paling superfisial dibentuk oleh muskulus intercostalis eksternus, lapis kedua oleh muskulus intercostalis internus, dan lapis paling profunda oleh muskulus intercostalis intimus. (3)

Setelah melewati foramen intervertebrale, kedua belas pasang nervi thoracici terpecah manjadi rami anteriores dan rami posteriores. Rami anteriores nervi thoracici I-XI membentuk nervi intercostales yang memasuki spatia intercostalia. Ramus anterior nervus thoracicus  XII yang terdapat kaudal dari costa XII, disebut nervi subcostalis. Rami posteriores melintas ke arah dorsal, tepat lateral dari processus artikularis vertebra untuk mempersarafi otot, tulang, sendi dan kulit di punggung.(3)
Pasokan darah arterial untuk dinding thorax berasal dari : arteria subklavia melalui arteria thoracica interna dan arteria intercostalis terkranial, arteria aksilaris, orta melalui arteria intercostalis dan arteria subcostalis.(3)
Vena intercostalis mengiringi arteria intercostalis dan terletak paling dalam (terkranial) dalam sulcus costa. Di masing-masing sisi terdapat 11 vena intercostalis posterior dan satu vena subcostalis. Vena intercostalis posterior beranastomosis dengan vena intercostalis anterior yang merupakan anak cabang vena thoracica interna. Vena intercostalis terbanyak berakhir dalam vena azygos yang membawa darah ke venosa ke vena cava inferior.(3)
e.       Pleura

Paru-paru masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yakni pleura parietalis melapisi dinding thorax, dan pleura viseralis meliputi paru-paru, termasuk permukaannya fisura.(3)
Kavitas pleuralis adalah ruang potensial antara kedua lembar pleura dan berisi selapis kapiler cairan pleura serosa yang melumasi permukaan pleura dan memungkinkan lembar-lembar pleura menggeser secara lancar satu terhadap yang lain pada pernapasan. (3)
Pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum, dan diafragma. Pleura parietalis mencakup bagian-bagian berikut 1. pleura kostal menutupi permukaan dalam dinding thorax (sternum, cartilago costalis, costa, musculus intercostalis, membrana intercostalis, dan sisi-sisi vertebra thoraxika); 2. pleura mediastinal menutupi mediatinum; 3. Pleura diafragmatik menutupi permukaan torakal diafragma; 4. pleural servikal (cupula pleurae) menjulang sekitar 3 cm ke dalam leher, dan puncaknya membentuk kubah seperti mangkuk di atas apeks pulmonis.(3)
2.        Fisiologi pernafasan
Rongga thorax dapat dibandingkan dengan suatu pompa tiup hisap yang memakai pegas, artinya bahwa gerakan inspirasi atau tarik napas yang bekerja aktif karena kontraksi otot intercostalis menyebabkan rongga thorax mengembang, sedangkan tekanan negatif yang meningkat dalam rongga thorax menyebabkan mengalirnya udara melalui saluran napas atas ke dalam paru. Sebaliknya, mekanisme ekspirasi atau keluar napas, bekerja pasif karena elastisitas/daya lentur jaringan paru ditambah relaksasi otot intercostalis, menekan rongga thorax hingga mengecilkan volumenya, mengakibatkan udara keluar melalui jalan napas. Adapun fungsi dari pernafasan adalah:
Fungsi
Definisi
Ventilasi
memasukkan/mengeluarkan udara melalui jalan napas ke dalam/dari paru dengan cara inspirasi dan ekspirasi tadi.
Distribusi
menyebarkan/mengalirkan udara tersebut merata ke seluruh sistem jalan napas sampai alveoli
Difusi
oksigen dan CO2 bertukar melaluimembran semipermeabel pada dinding alveoli (pertukaran gas)
Perfusi
Darah arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan oksigennya dan darah venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang cukup untuk menghidupi jaringan tubuh.
Setiap kegagalan atau hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan menimbulkan gangguan pada fungsi pernapasan, berarti berakibat kurangnya oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini misalnya terdapat pada suatu trauma pada thorax. Selain itu maka kelainan-kelainan dari dinding thorax menyebabkan terganggunya mekanisme inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam rongga thorax, terutama kelainan jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya elastisitas paru, juga dapat menimbulkan gangguan pada salah satu/semua fungsi-fungsi pernapasan tersebut.(4)

3.        Definisi
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.(1) Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).(1)
4.        Etiologi
Trauma thorax kebanyakan disebakan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul (blunt thoracic trauma). Trauma tajam atau trauma tembus (penetrating thoracic trauma) terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera thorax sering disertai dengan cedera perut, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk.
5.        Epidemiologi
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.(2)
6.        Klasifikasi
Dalam ATLS, cedera thorax dibagi menjadi 2 golongan:(2)
Segera mengancam jiwa
a.       Obstruksi jalan napas akut oleh sebab apapun, terutama pada cedera laringotrakea atau cedera berat tulang muka dan jaringan lunak.
b.      Kegagalan ventilasi karena Tension pneumothorax, pneumothorax terbuka, atau flail chest.
Potensial mengancam jiwa
a.       Trauma tumpul jantung
b.      Kontusio paru
c.       Ruptur aorta
d.      Hernia diafragmatika karena trauma
e.       Ruptur trakeobronkial
f.       Ruptur esofagus
g.      Hemothorax sederhana
h.      Pneumothorax sederhana
Dalam penanganan klinik sehari-hari, trauma thorax dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.(5)
Trauma tembus (tajam)
Terjadi diskontinuitas dinding thorax (laserasi) langsung akibat penyebab trauma. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisu, kaca, dsb) atau peluru. Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.
Trauma tumpul
Tidak terjadi diskontinuitas dinding thorax. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering akibat trauma tumpul thorax adalah kontusio paru. Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi.
a.       Trauma tembus
Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile, misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan “stretching dan crushing” dan cedera biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut.
Derajat cidera tergantung pada mekanisme dari penetrasi dan temasuk, diantara faktor lain, adalah efisiensi dari energi yang dipindahkan dari obyek ke jaringan tubuh yang terpenetrasi. Faktor–faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik dari senjata, seperti kecepatan, ukuran dari permukaan impak, serta densitas dari jaringan tubuh yang terpenetrasi. Pisau biasanya menyebabkan cedera yang lebih kecil karena ia termasuk proyektil dengan kecepatan rendah. Luka tusuk yang disebabkan oleh pisau sebatas dengan daerah yang terjadi penetrasi. Luka disebabkan tusukan pisau biasanya dapat ditoleransi, walaupun tusukan tersebut pada daerah jantung, biasanya dapat diselamatkan dengan penanganan medis yang maksimal.
Peluru termasuk proyektil dengan kecepatan tinggi, dengan biasanya bisa mencapai kecepatan lebih dari 1800-2000 kali per detik. Proyektil dengan kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan dapat menyebabkan berat cidera yang sama dengan seperti penetrasi pisau, namun tidak seperti pisau, cidera yang disebabkan oleh penetrasi peluru dapat merusakkan struktur yang berdekatan dengan laluan peluru. Ini karena disebabkan oleh terbentuknya kavitas jaringan dan dengan menghasilkan gelombang syok jaringan yang bisa bertambah luas. Tempat keluar peluru mempunya diameter 20-30 kali dari diameter peluru.
b.      Trauma tajam
Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus, kira-kira lebih dari 90% trauma thorax. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: 1. transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ thorax dan 2. deselerasi deferensial, yang dialami oleh organ thorax ketika terjadinya impak. Benturan yang secara langsung yang mengenai dinding thorax dapat menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera thorax dengan tekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehingga menyebabkan ruptur dari organ –organ yang berisi cairan atau gas.
7.        mekanisme
Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding thorax/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi:
a.       Sifat jaringan tubuh
Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
b.      Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
c.       Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (perdarahan), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dan jaringan (syok).(2)
8.        Manifestasi klinis
Berat-ringannya trauma dinding dada, berdasarkan Thoraxic Abbreviated Injury Scale
(AIS).
NO
DERAJAT TRAUMA
PERINCIAN JEJAS
1
Ringan
Fraktur 1 iga, memar jaringan lunak
2
Sedang
Fraktur 2-3 iga, dinding dada stabil, fraktur sternum, fraktur iga multiple
3
Berat, tidak mengancam hidup
Fraktur iga terbuka, fraktur iga lebih dari 3
4
Berat, mengancam hidup
Dinding dada tidak stabil, ada flail chest.
5
Sangat berat/kritis
Flail chest berat yang perlu bantuan ventilator
Berdasarkan Injury Severity Scoring dari Association for the Advancement of Automotive Medicine (AAAM).
Chest Wall Injury Scale* Grade†
Injury Type
       Description
AIS-90
I
Contusion
Laceration
Fracture
Any size
Skin and subcutaneous
<3 ribs, closed; nondisplaced clavicle closed
1
1
1-2
II
Laceration
Fracture
Skin, subcutaneous and muscle
≥3 adjacent ribs, closed
Open or displaced clavicle
Nondisplaced sternum, closed
Scapular body, open or closed
1
2-3
2
2
2
III
Laceration
Fracture
Full thickness including pleural penetration
Open or displaced sternum, flail sternum
Unilateral flail segment (<3 ribs)
2
2
3-4
IV
Laceration
Fracture
Avulsion of chest wall tissues with underlying rib fractures
Unilateral flail chest (≥3 ribs)
4
3-4
V
Fracture
Bilateral flail chest (≥3 ribs on both sides)
5
This scale is confined to the chest wall alone and does not reflect associated internal thoracic or abdominal injuries
Lung Injury Scale Grade*
Injury Type
Description
AIS-90
I
Contusion
Unilateral, <1 lobe
3
II
Contusion
Laceration
Unilateral, single lobe
Simple pneumothorax
3
3
III
Contusion
Laceration
Hematoma
Unilateral, >1 lobe
Persistent (>72 hrs), air leak from distal airway
Nonexpanding intraparenchymal
3
3-4
IV
Laceration
Hematoma
Vascular
Major (segmental or lobar) air leak
Expanding intraparenchymal
Primary branch intrapulmonary vessel disruption
4-5
3-5
V
Vascular
Hilar vessel disruption
4
VI
Vascular
Total, uncontained transection of pulmonary hilum
4
* Advance one grade for multiple injuries up to grade III ; Hemothorax is scored under thoracic vascular injury scale
Thoracic Vascular Injury Scale Grade*
Description
AIS-90
I
Intercostal artery/vein
Internal mammary artery/vein
Bronchial artery/vein
Esophageal artery/vein
Hemiazygos vein
Unnamed artery/vein
2-3
2-3
2-3
2-3
2-3
2-3
II
Azygos vein
Internal jugular vein
Subclavian vein
Innominate vein
2-3
2-3
3-4
3-4
III
Carotid artery
Innominate artery
Subclavian artery
3-5
3-4
3-4
IV
Thoracic aorta, descending
Inferior vena cava (intrathoracic)
Pulmonary artery, primary intraparenchymal branch
Pulmonary vein, primary intraparenchymal branch
4-5
3-4
3
3
V
Thoracic aorta, ascending and arch
Superior vena cava
Pulmonary artery, main trunk
Pulmonary vein, main trunk
5
3-4
4
4
VI
Uncontained total transection of thoracic aorta or pulmonary hilum
5
Increase one grade for multiple grade III or IV injuries if >50% circumference; decrease one grade for grade IV and V injuries if <25% circumference.
Injury
AIS Score
1
Minor
2
Moderate
3
Serious
4
Severe
5
Critical
6
Unsurvivable






9.        Kelainan akibat trauma dinding thorax
Trauma dinding thorax dan paru
1.      Fraktur Iga
2.      Pneumothorax
a.       Pneumothorax sederhana
b.      Pneumothorax terbuka
c.       Tension Pneumothorax
3.      Hematothorax
4.      Hematothorax Masif
5.      Flail Chest
6.      Cedera trakea dan Bronkus
Trauma jantung dan aorta
1.      Tamponade Jantung
2.      Kontusio Miocard
3.      Trauma Tumpul Jantung
4.      Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)

Hematothorax
Hematothorax adalah suatu keadaan dimana darah berada dalam pleural space. Darah dapat muncul dari berbagai macam sumber, antara lain dari parenkim paru, laserasi dinding dada. Pada trauma tumpul diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan insersi chest tube.(6)
Perdarahan yang terjadi biasanya terletak pada pleural space, yakni antara pleura parietalis dan visceralis.Perdarahan ke dalam pleural space merupakan akibat dari trauma extrapleural dan intrapleural. Extrapleural dapat disebabkan oleh trauma dinding dada yang mengenai arteri intercostalis dan mammaria interna sedangkan intrapleural dapat disebabkan oleh parenkim paru, namun  biasanya sembuh dengan sendirinya karena tekanan pembuluh darah paru biasanya rendah. Trauma parenkim paru biasanya dibarengi dengan pneumothorax.
Respon fisiologis dari pembentukan hemothorax dapat dikategorikan menjadi 2 area yakni: hemodinamika dan pernapasan. Respon hemodinamik tergantung seberapa banyak dan seberapa cepat darah yang keluar ke rongga pleura. Kehilangan darah hingga 750-1500 ml dapat mengakibatkan terjadinya gejala awal dari shock (tachypnea, tachycardia, tekanan darah menurun). Respon pernapasan akibat space occupying effect dari akumulasi darah dalam rongga pleura dapat menghambat pergerakan napas yang normal.Dalam kasus trauma yang menyangkut cedera pada dinding thorax dapat mengakibatkan gangguan ventilasi dan oksigenasi. Kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien alami sesak.
Apabila ini terjadi terus menerus lama kelamaan akan terjadi empyema dan fibrothorax. Empyema merupakan hasil dari kontamnasi bakteri yang menetap di rongga pleura dada yang sakit, apabila tidak tertangani maka akan menyebabkan bacteremia dan septic shock.
Fibrothorax dapat terjadi ketika deposisi fibrin tersebut berkembang pada hemothorax dan menyelimuti kedua pleura. Kemudian terjadi proses adhesi dari kedua pleura sehingga terjadilah air trapping yang menyebabkan paru sulir mengemmbang sempurna. Foto thorax tegak adalah suatu diagnostik primer yang ideal untuk evaluasi hemothorax.
Penatalaksanaan awal apabila terjadi hematothorax pada pasien yang pada foto thoraxnya terdapat sinus costophrenicus yang suram dengan atau tanpa pnemothorax adalah pemasangan tube thoracostomy. Pembedahan terbuka eksplorasi hanya dilakukan pada: 1. Evakuasi >1000 ml, 2. perdarahan yang tak berhenti dari dada sebanyak 150-200ml/jam selama 2-4 jam dan sudah diletakkan transfusi berulang untuk menstabilkan hemodinamik pasien.
Apabila sudah terjadi empyema, dibutuhkan pembedahan untuk drainase. Dan apabila sudah terjadi fibrothorax perlu dilakukan thoracotomy.
Medikamentosa pada pasien dapat diberikan antibiotik pada pasien-pasien yang dilakukan pemasangan WSD, selain itu juga dapat diberikan analgesik untuk mengontrol nyerinya.
Fraktur iga
Fraktur iga adalah akhibat trauma paling sering yang disebabkan oleh trauma tumpul dada. Kira-kira mencapai 10% dari seluruh pasien dengan trauma tumpul dada menderita satu atau lebih fraktur iga. Mekanisme trauma yang paling sering menyebabkan fraktur iga pada orang tua adalah jatuh dari ketinggian, sedangkan pada orang dewasa, kecelakaan motor adalah mekanisme yang paling sering. Iga yang terkena biasanya iga 4-10 yakni bagian posterolateral dimana iga dinilai paling lemah.(10) Fraktur dari dua tulang iga tanpa ada kaitan dengan pleura atau paru biasanya ditangani secara konservatif. Namun pada orang tua dikarenakan adanya pengurangan pada ketebalan tulang dan compliance paru yang menurun, fraktur iga dapat berujung pada ketidakmampuan untuk batuk, menurunkan kapasitas vital dan komplikasi infeksi. Sesak pada saat inspirasi adalah keluhan primer yang biasanya didapatkan pada manifestasi klinis pasien setelah fraktur iga. Gejala klinis lain yang berhubungan dengan fraktur iga adalah tanda-tanda spesifik ventilatory insufficiency seperti sianosis, tachypnoe, retraksi sela iga dan penggunaan otot-otot bantu napas, selain itu nyeri pada palpasi dan didapatkannya krepitasi. Fraktur iga di konfirmasi lewat foto thorax.(9)
Komplikasi dari fraktur iga antara lain: Gagal napas (pada fraktur iga yang multipel membutuhkan kerja lebih keras untuk bernapas dan sangat riskan untuk terjadi pulmonary fatigue selain itu dapat juga disebabkan oleh trauma pada dinding dadanya), Hipoventilasi, Hipoksia, Atelektasis, Pneumonia, Pneumothorax (langsung atau delayed), Hematothorax (langsung atau delayed) Penanganannya terdiri atas pemberian anesthesi sempurna, antibiotik yang memadai, ekspektoran, disertai fisioterapi.
Prognosis pada pasien yang alami fraktur iga yang terisolasi pada pasien muda memiliki prognosis yang baik. Namun pada pasien yang lebih tua insidens nya lebih tinggi untuk alami komplikasi pulmoner seperti pneumonia, ARDS, hipoksemia maupun kematian akibat pneumonia sequelae.(10)
Tension Pneumothorax
Tension pneumothorax terjadi ketika terdapat kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way valve). Akibatnya, tekanan intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.Tekanan di dalam rongga pleura akan semakin tinggi karena penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam, tetapi ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar (mekanisme katup). Inspirasi paksaan ini akan menambah tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan memperburuk keadaan umum karena paru yang sehat tertekan. Karena pembuluh vena besar, terutama v. cava inferior dan v. cava superior, terdorong atau terlipat, darah tidak dapat kembali ke jantung, hal inilah yang menyebabkan kematian. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah:komplikasi penggunaan ventilator dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pleura visceral komplikasi dari pneumothorax sederhana defek atau perlukaan pada dinding dadafraktur tulang belakang thorax yang mengalami pergeseran Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemithorax yang terkena.Pada tension pneumothorax akibat trauma, dapat terjadi emfisema. Karena tekanan tinggi di rongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan terdapat krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan subkutis thorax.Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jatum yang berukuran besar pada sela iga ke dua garis midclavicular pada hemithorax yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax sederhana. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada pada sela iga kelima diantara garis anterior dan midaxilaris.
Open Pneumothorax
Defek atau luka besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumothorax terbuka. Tekanan dalam rongga pleura akan menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril ( plastic wrap atau petrolatum gauze) yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter type valve (saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka mencegah kebocoran udara dari dalam, saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar). Setelah itu sesegera mungkin dipasang selang dada tang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan tension pneumothorax, kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika terjadi kerusakan parenkim paru dibawahnya sesuai dengan kerusakan pada tulang, maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama adalah trauma parenkim paru yang mungkin terjadi (contusio paru).
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya karena splinting dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan thorax bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto thorax akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur tulang iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisa gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafsan juga membantu dalam diagnosis.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator.Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati terhadap frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
10.    Patofisiologi
Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus)dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).(7)
11.    Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium
1.      Darah preifer lengkap
2.      Analisa gas darah
Pemeriksaan radiologis
1.      Rontgen thorax
2.      Ct Scan thorax

12.    Pengelolaan trauma thorax
Prinsip pengelolaan : primary survey, Resusitasi fungsi vital, Secondary survey yang rinci dan Penanganan definitive.
Hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. Trauma yang bersifat mengancam nyawa harus secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. Kebanyakan kasus trauma thorax yang mengancam nyawa di terapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan chest tube atau dekompresi thorax dengan jarum. Secondary survey membutuhkan anamnesis trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma-trauma yang spesifik.

Primary survey
Cedera thorax yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan napas, hemothorax besar, tamponade jantung, tension pneumothorax, dada gail (flail chest, dada instabil), pneumothorax terbuka dan kebocoran udara trakea-bronkus.Semua kelainan ini menyebabkan gawat dada atau thorax akut yang analog dengan gawat perut, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru dan perdarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan operasi, seperti membebaskan jalan napas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga pericard, dan menutup sementara luka dada. Akan tetapi, kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus di dada harus segera ditutup dengan jahitan yang kedap udara. Berikut adalah tabel mengenai gangguan ABC (airway, breathing, circulation) yang dapat menyebabkan gawat dada:
Penyebab
Diagnosis
A
Obstruksi jalan nafas
- Sianosis, pucat, stridor
- Kontraksi otot bantu nafas (+)
- Retraksi supraklavikula dan intercostal
B
Kebocoran trakea
- Suara nafas bronchial
- Pneumothorax
- Emfisema
- Infeksi
Flail chest
- Gerakan nafas paradoks
- Sesak nafas, sianosis
Pneumothorax terbuka
- Luka pada tinding thorax
- Kebocoran udara yang terdengar dan tampak
Tension pneumothorax
- Hemithorax mengembang
- Gerakan hemithorax kurang
- Suara nafas berkurang
- Sesak nafas progressif
- Emfisema subkutis
- Trakea terdorong ke sisi sebelah
C
Hemothorax massif
- Anemia, syok hipovolemik
- Sesak napas
- Pekak pada perkusi
- Suara nafas berkurang
- Tekanan vena sentral tidak meninggi
Tamponade jantung
- Syok kardiogenik
- Tekanan vena meninggi (leher)
- Bunyi jantung berkurang
a.       Airway
Trauma utama pada airway harus dikenal dan diketahui selama primary survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung., mulut dan lapang paru serta dengan inspeksi pada daerah orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular.
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thorax. Walaupun gejala klinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring merupakan cedera yang mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas, menyebabkan dislokasi ke arah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular, dan dapat menimbulkan sumbatan airway atas. Sumbatan airway atas juga dapat terjadi bila displacement fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan trachea. Hal ini juga dapat menyebabkan trauma pembuluh darah pada ekstremitas yang homolateral karena kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama arkus aorta.
Trauma ini dapat diketahui bila ada stridor, tanda berupa perubahan dari kualitas suara (bila penderita masih dapat berbicara), dan trauma luas pada dasar leher yang akan menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoklavikular.
Penanganan pada trauma ini adalah menstabilkan patensi airway, yaitu dengan intubasi endotracheal (bila memungkinkan), walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakuakn jika ada tekanan cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari trauma yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan ponted clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Tindakan di atas dilakuakan pada posisi berbaring jika kondisi penderita stabil.
b.      Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi dan didengarkan.
Gejala yang terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia, termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia lebih lanjut dari penderita trauma, tetapi bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Trauma thorax yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali dan di tangani saat primary survey termasuk adanbya tension dan open pneumothorax, flail chest, kontusio paru dan hemothorax masif.
c.       Circulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya. Pada penderita hipovolemia, denyut nadi a. radialis dan a. dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Ingat distensi vena leher mungkin tidak tampak pada penderita hipovolemia walaupun ada tamponade jantung, tension pneumothorax, amupun perlukaan diafragma traumatik.
Monitor jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita. Penderita yang dicurigai trauma thorax terutama pada daerah sternum atau trauma deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya trauma miokard  apabila ada disritmia. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia, mungkin membutuhkan terapi dengan bolus lidocain segera (1 mg/kg) dilanjutkan dengan drip lidokain (2-4 mg/menit).
·         Hematothorax Masif
Terapi awal hemothorax masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar, kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut memerlukan torakotomi segera.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc/jam dalam waktu 2 samapi 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.
Luka tembus thorax di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oeh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
·         Tamponade Jantung
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, enurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh, Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya tamponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya tamponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan  USG (Echocardiography) meruakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan dikantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik, tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi merupakan indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosentesis melaluin metode subxyphoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan diruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan pesiapan untuk tindakan perikardiosintesisn melalui subxyphoid pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan tekhnik seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring elektrokardiogragi dapat menunjukan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosentesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.


·         Torakotomi Resusitasi
Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada keadaan penderita yang hipovolemia. Penderita dengan luka tembus thorax yang sampai di rumah sakit tidak teraba denyut nadi tetapi masih ada aktivitas elektrik dari miokard merupaakn calon untuk torakotomi resusitasi secepatnya. Seorang ahli bedah yang berpengalaman harus ada ketika penderita sampai diruang gawat darurat untuk menetapkan indikasi dan menjamin suksesnya resusitasi torakotomi tersebut.
Torakotomi antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses langsung ke jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik mutlak harus dikerjakan. Penderita dengan trauma tumpul yang sampai dirumah sakit dan tidak teraba denyut nadi akan tetapi masih ada aktifitas miokard tidak ada indikasi torakotomi resusitasi.
Tindakan terapi efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi adalah :
1.  Evakuasi darah di perikard yang menyebabkan tamponade jantung.
2.  Kontrol langsung sumber perdarahan padaperdarahan intrathorax.
3.  Klem silang aorta descendens untuk mengiurangi kehilangan darah dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi ke otak dan jantung.
Berbeda hasilnya jika ini dilakukan pada trauma tumoul. Banyak laporan mengkonfirmasikan tidak efektifnya hasil torakotomi di ruang gawat darurat untuk penderita yang mengalami henti jantung setelah trauma tumpul. Setelah memberikan terapi perlukaan yang tergolong Immediate Life-Threatening, perhatian dapat diteruskan ke secondary survey.
Secondary survey
Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalam dan teliti. Foto thorax tegak dibuat jika kondisi penderita memungkinkan , serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring pulse oximeter dan elektrokardiogram. Pada foto thorax harus dinilai pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya pelebaran mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran detail anataomis mediastinum. Pada fraktur iga pertama atau fraktur iga multipeldan atau iga kedua hrus dicurigai bahwa trauma yang terjadi pada thorax dan jaringan lunak di bawahnya sangat berat.
13.   
Tindakan ada penanganan trauma thorax
Thoracocentesis Jarum

Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumothorax. Jika tindakan ini dilakukan pada pasien bukan tension pneumothorax, dapat terjadi tension pneumothorax atau kerusakan parenkim paru.

1.      Identifikasi thorax penderita dan status respirasi.
2.      Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasio sesuai kebutuhan.
3.      Identifikasi sela iga II di linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4.      Asepsis dan antisepsis dada.
5.      Anestesi lokal jika pasien sadar atau keadaan memungkinkan.
6.      Penderita berada pada posisi tegak jika fraktur cervical sudah disingkirkan.
7.      Pertahankan Luer-Lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat diatas iga kedalam sela iga.
8.      Tusuk pleura parietal
9.      Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumothorax telah teratasi.
10.  Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter.Tinggalkan kateter plastik ditempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.
11.  Siapkan chest tube, kalau perlu chest tube harus dipasang setinggi puting susu anterior linea midaksilaris pada bagian hemithorax yang terkena.Hubungkan chest tube ke WSD atau katup tipe flutter dan cabut kateter yang digunakan untuk dekompresi tension pneumothorax.
12.  Lakukan rontgen thorax.
Komplikasi Thorakosentesis adalah Hematom local, Infeksi pleura, empyema dan Pneumothorax
Insersi Chest Tube
Insersi drainase thorax  mudah dilakukan dengan tehnik Seldinger, pada “safe triangle”, yaitu line askilaris media pada ICS 5, saat posisi pasoen dedek 45o. Drain harus dihibingkan dengan underwater seal, dan melihat gelembung saat dilakukan insersi. Suction tidak umum digunakan pada drain dalam 48 jam post insersi, untuk menghindari kemungkinan reekspansi pulmonary edema. Radiografi thorax perlu dilakukan untuk mengecek letak tube.

Sistem drainase
a.       Heimlich valve
Penggunaan terbatas pada ruang ICU. Lebih sering digunakan pada pasien pneumothorax yang tidak dirawat. Chest tube dipasang pada one way flutter menggunakan five in one konektor. Ketika terjadi inpirasi, plastik kontainer Heimich valve kolaps. Saat ekspirasi, katup tersebut terbuka, dan membiarkan udara mengalir ke luar ronnga thorax. Dilakukan pemasangan bag bila diperlukan.
b.      Sistem satu botol
Botol berfungsi sebagai penampung dan underwater seal. Mencegaj udara masuk ke rongga pleura selama inspirasi. Air di botol akan masuk di selang selama inspirasi, tingginya sesai dengan tekanan negatif di rongga thorax (dalam cm). Digunakan salin atau air steril untuk menjaga canul 2-3 cm di bawah permukaan air. Udara dalam rongga thorax akan keluar melalui underwaterseal pada fase ekspirasi. Kekurangan sistem ini adalah adanya cairan yang keluar dari rongga pleura meningkatkan volume cairan dalam botol, sehingga udara menjadi lebih sulit keluar.
c.       Sistem dua botol
Satu botol berfungsi sebagai penampung cairan dan yang satunya sebagai underwater seal. Cairan terakumulasi di botol pertama, udara mengalir ke botol pertama kemudian ke botol kedua sebagai waterseal. Suction dapat digunakan pada botol kedua. Fluktuasu di botol kedua sama signifikan dengan botol pertama. Kekurangan sistem ini adalah jumlah tekanan negatif selama aspirasi tidak dapat dikontrol dengan baik.
d.      Sistem tiga botol
Botol ketiga (botol control suction) menguraangi resiko injury parenkim paru dari over-suction, karena banyak unit yang menggunakan wall-suction daripada unit suction pleura. Botol kontol suction memiliki tiga kanul: (1) dari botol waterseal, (2) ke wall suction, (3) masuk ke dalam botol yang ujungnya berada di bawah level air yang sudah ditentukan (biasanya 10-20 cm di bawah permukaan). Misalnya 15 cm salin diletakkan didalam botol, maka tekanan negatifnya adalah 15 tanpa memperhatikan tekanan wall suction yang digunakan. Botol ketiga harus selalu bergelembung, jika tidak, maka jumlah suction ydinding belum mencukupi.
e.       Comersial unit
3 botol sistem dalam satu plastik tertutup. Kelebihan sistem ini adalah bentuknya yang simple, tidak mudah pecah, sekali pakai.Water seal chamber meliputi udara, level tekanan pleura, dan respiratory tidal. Dapat digunakan tekanan negatif mulai dai 0 - -40 cmH2O. gelembung menunjukan kebocoran yang terus menerus. Ketinggian air saat inspirasi menunjukan tekanan pleura. Suction control chamber harus selalu bergelembung.
Langkah-langkah:
1.      Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber besar, dan monitor tanda-tanda vital harus dilakukan.
2.      Tentukan tempat insersi, biasanya setinggi puting (sela iga V) anterior garis linea midaksilaris pada area yang terkena.Chest tube kedua mungkin dipakai pada hemithorax.
3.      Siapkan pembedahan dan tempat diinsersi ditutup dengan kain.
4.      Anestesi lokal kulit dan periosteum iga.
5.      Insisi transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang ditentukan dan diseksi tumpul melalui jaringan subkutan, tepat diatas iga.
6.      Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan darah, bekuan darah, dll.
7.      Klem ujung proksimal tube thoraxostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura sesuai panjang yang diinginkan.
8.      Cari adanya”fogging”pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran udara.
9.      Sambung ujung tube thoraxostomi ke WSD.
10.  Jahit tube ditempatnya.
11.  Tutup dengan kain/kasa dan plester.
12.  Buat foto rontgen thorax.
13.  Pemeriksaan AGD sesuai kebutuhan.




Komplikasi
a.       Laserasi atau menusuk intrathorax atau organ abdomen,dapat dicegah dengan tekhnik jari sebelum melakukan insersi.
b.      Infeksi pleura (empiema).
c.       Kerusakan saraf interkostal,vena,arteri :
·           Pneumothorax menjadi hematothorax
·           Neuritis interkostal/neuralgia.
d.      Posisi tube yang keliru,intrathorax/ekstrathorax.
e.       Lepasnya chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD.
f.       Pneumothorax persisten:
·           Kebocoran primer yang besar.
·           Kebocoran dikulit sekitar chest tube, pengisapan pada tube terlalu kuat.
·           WSD yang bocor.
g.      Emfisema subkutis.
h.      Pneumothorax rekurrent setelah pencabutan tube, penutupan luka setelah thoraxostomi tidak segera dilakukan.
i.        Gagalnya paru mengembang akibat adanya plak bronkus, perlu bronkoskopi.
j.        Reaksi anafilaktik atau alergi obat anestesi atau persiapan bedah
Torakostomi
Merupakan insersi chest tube ke dalam rongga pleura untuk mengeluarkan udara, darah, pus, atau cairan lainnya. Indikasi pneumothorax, Hemothorax, Hemopneumothorax, Empiyema dan Efusi Pleura. Sedangkan kontraindikasi absolut berupa adesi torak, pulmo dan pleura.
Laki-laki
Perempuan
Anak
Infant
Neonatus
28-32 F
28 F
12-28 F
12-16 F
10-12 F
Persiapan berupa alat steril glove, minor set, Lidokain 1%, Syringe  10-50 cc, Jarum no 23 untuk insersi anastesi local, Pisau no 10, Klam Kelly  besar dan sedang, needle holder, kasa persegi 4x4, Plaster 4 sisi, cairan antiseptic; benang dan jarumnya; duk bolong,  dan Chest Tube.


Prosedur dari torakostomi adalah sebagai berikut:
1.      Posisikan pasien dengan sudut 45o C
2.      Identifikasi ICS 5 dan MCL( insisi kulit diantara MCL dan AAL di atas tulang rusuk yang berada di bawah tingkat interkostal dipilih untuk penyisipan dada tabung)
3.      Injeksi anastesi lokal dan infiltrasi
4.      Insisi kulit, menembus kutis dan subkutis
5.      Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan
6.      Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru
7.      Klem Kelly digunakan untuk dimasukkan kedalam dinding thorax dan menuju rongga pleura
8.      Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly forceps
9.      Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada.
10.  Selang ( chest tube ) disambung ke botol WSD yang telah disiapkan dan telah di batasi.
11.  Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan

Setelah prosedur harus dinilai volume cairan, jenis cairan, inisial bubble, continous bubble, undulasi, serta force expiratory bubble.
Indikasi pencabutan, adalah jika paru-paru reekspansi yang ditandai dengan Tidak ada undulasi, Cairan yang keluar tidak ada, tidak ada gelembung udara, dari pemeriksaan fisik tidak ada cairan dan udara, dari pemeriksaan rotgen tidak ada cairan atau udara, atau  Jika selang chest tube tersumbat dan tidak dapat diatas dengan spooling atau pengurutan tube
 Torakotomi
Indikasi operatif pada trauma tajam thorax dapat dilihat pada tabel dibawah. Indikasi untuk torakotomi pada trauma tumpul didasarkan pada diagnosis spesifik pra operasi, diantaranya tamponade perikardial, kebocoran aorta desending thorax, ruptur bronkus utama dan ruptur esofagus. Torakotomi untuk hemothorax tanpa adanya diagnosa diatas jarang dilakukan.
Perikardiocentesis
       






1.      Monitor tanda vital penderita, CVP, dan EKG sebelum, selama, dan sesudah prosedur.
2.      Persiapan bedah pada area xiphoid dan subxiphoid, jika waktu mengizinkan.
3.      Anestesi di tempat pungsi, jika perlu.
4.      Gunakan #16-#18 gauge, 6 inchi (15 cm) atau kateter jarm yang lebih panjang, terpasang pada tabung jarum kosong 35 ml dengan 3 way stopcock.
5.      Identifikasi adanya pergeseran mediastinum yang menggeser jantung secara bermakna.
6.      Tusuk kulit 1-2 cm inferior xiphokondrail junction kiri, dengan sudut 45 derajat.
7.      Dorong jarum dengan hati-hati ke arah sefalad dan ditunjukkan ke ujung skapula kiri.
8.      Jika jarum didorong terlalu jauh (ke otot ventrikular) pola trauma (mis, perubahan ekstrim gelombang ST-T atau melebar dan membesarnya kompleks QRS) muncul pada monitor EKG. Pola ini mengindikasikan jarum perikardiosentesis harus ditarik sampai pola EKG sebelumnya muncul kembali.Kontraksi ventrikular prematur dapat terjadi juga, sekunder terhadap iritasi pada miokard ventrikel.
9.      Ketika ujung jarum memasuki perikard yang terisi darah, hisap sebanyak mungkin.
10.  Selama aspirasi, epikardium kembali mendekat dengan permukaan dalam perikard, juga mendekati ujung jarum.Akibatnya pola trauma pada EKG muncul kembali.Hal ini menandakan jarum perikardiosentesisnharus ditarik sedikit. Jika pola trauma ini persisten,tarik seluruh jarum keluar.
11.  Sesudah aspirasi selesai, cabut tabung jarum, dan sambungkan ke 3 way stepcock, tinggalkan stopcock tertutup. Pertahankan posisi kateter di tempatnya.
12.  Jika gejala tamponade jantung persistent, buka stopcock dan perikard diaspirasi ulang.Jarum plastik perikardiosentesis dapat dijahit atau diplester dan ditutup denga kain/kasa kecil untuk memungkinkan dilakukan dekompresiberulang atau pada saat pemindahan penderita ke fasilitas medis lain.
Komplikasi :
a.         Aspirasi darah ventrikel dan bukan darah erikardium.
b.         Laserasi ventrikel epikard/miokard.
c.         Laserasi arteri/vena koroner.
d.        Hemoperikardium baru, sekunder terhadap laserasi artei/vena koroner, dan atau ventrikel epikard/miokard.
e.         Fibrilasi ventrikel.
f.          Pneumothorax, sekunder terhadap fungsi paru.







BAB III
KESIMPULAN
Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas bermakna. Sebagian besar pasien meninggal setelah sampai di Rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.




















DAFTAR PUSTAKA

1)      Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2: Tindak Bedah Organ dan Sistem Organ. 2005. Jakarta: EGC; p.406-13
2)      Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support for Doctors: ATLS Student Course Manual. 8th ed. 2008. Chicago:American College of Surgeons Committee on Trauma; p.97-113
3)      Moore, KL & Agus AMR. Essential Clinical Anatomy: Anatomi Klinis Dasar. 5th ed. 2002. Jakarta:Hippokrates.
4)      Hall, Guyton. Fisiologi Kedokteran Bab VII:Pernafasan. Ed 11. Jakarta: EGC. 2007. Hal 495-510
5)      Rachmad, KB, Tjahyono, AS, Wibawanto, AW, et al. Penanganan Trauma Thorax. 1st ed. 2002. Jakarta: Subbag Ilmu Bedah Thorax, FKUI; p.79-84
6)      Mattox, KL, Moore E, Feliciano DV. Trauma. 6th ed. 2008. McGraw-Hill; p.1029-32
7)      Sugarbaker, DJTownsend, Neauchamp, Evers, Mattox.Sabiston Textbook of Surgery.18th ed. 2008. Saunders. p.2156
8)      Mancini MC. Hemothorax. 2012. WebMD [Updated: September 14th, 2012. Citated: August 23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview
9)      Sugarbaker, DJTownsend, Neauchamp, Evers, Mattox. Sabiston Textbook of Surgery.18th ed. 2008. Saunders. p.664-5
10)  Melendez SL. Rib Fracture. 2012. WebMD [Updated: September 24th, 2012. Citated August 23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/825981-overview



Tidak ada komentar:

Posting Komentar