BAB I
PENDAHULUAN
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau
peluru. Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena, organ apa
yang cedera, dan bagaimana derajat kerusakannya perlu diketahui biomekanik
trauma.(1)
Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselarasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda
tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia. Akibat cedera ini dapat
berupa memar, luka jaringan lunak, cedera musculoskletal, dan kerusakan organ.(1)
Trauma thorax sering ditemukan. Sekitar 25% dari penderita
multi-trauma ada komponen trauma thorax. 90% dari penderita dengan trauma
thorax ini dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh dokter di Rumah
Sakit (atau paramedic di lapangan), sehingga hanya 10% yang memerlukan operasi.(1)
Trauma
thorax merupakan penyebab mortalitas bermakna. Sebagian besar pasien
meninggal setelah sampai di Rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari
10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax
yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat
diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang
mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.(2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Anatomi
Thorax adalah
bagian atas batang tubuh yang terletak antara leher dan abdomen. Cavitas
thoracis dibatasi oleh dinding thorax, berisi timus, jantung (cor), paru
(pulmo), bagian distal trakea dan bagian besar esofagus. Dinding thorax terdiri
dari kulit, fasia, saraf, otot, dan tulang.(3)
Kerangka dinding
thorax
Sifat khusus
vertebra thorax mencakup : fovea costalis pada corpus vertebrae untuk bersendi
dengan tuberculum costae, kecuali pada dua atau tiga kosta terkaudal, processus
spinosus yang panjang.(3)
Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilagineus yang
melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ abdomen (misalnya hepar).
Kerangka thorax terdiri dari : vertebra thoraxika (12) dan diskus
intervertebralis, costa (12 pasang) dan cartilago costalis, sternum.(3)
a. Costae
Costae adalah
tulang pipih yang sempit dan lengkung, dan membatasi bagian terbesar sangkar
dada. Tujuh atau delapan kosta pertama disebut costae sejati (vertebrosternal) karena menghubungkan
vertebra dengan sternum melalui kartilago kostalisnya. Costae VIII sampai costae
X adalah costae tak sejati (vertebrokondral) karena kartilago kostalis tepat
diatasnya. Costae XI dan XII adalah costae bebas atau costae melayang karena
ujung kartilago kostalis masing-masing costae berakhir dalam susunan otot
abdomen dorsal.(3)
Cartilago
costalis memperpanjang costae kearah ventral dan turut menambah kelenturan
dinding thorax. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya fraktur pada sternum
atau costae karena benturan. Costae berikut cartilago costalis-nya terpisah
dari satu yang lain oleh spatium intercostale yang berisi muskulus
interkostalis, arteria interkostalis, vena interkostalis, dan nervus
intercostalis.(3)
Bagian costae
terlemah, terletak tepat ventral terhadap angulus costae. Fraktur costae umumnya
terjadi secara langsung karena benturan, atau secara tidak langsung karena
cedera yang mememarkan. Rudapaksa langsung dapat menyebabkan fraktur di sembarang
tempat pada costae, dan ujung patahan dapat mencederai organ dalam (misalnya
paru-paru dan atau limpa).(3)
b. Sternum
Sternum adalah
tulang pipih yang memanjang dan membatasi bagian ventral sangkar dada. Sternum
terdiri dari tiga bagian : manubrim sterni, korpus sterni, dan processus
xyphoideus.(3)
Manubrium sterni
berbentuk sperti segitiga, terletak setinggi vertebra T-III dan vertebra T-IV.
Corpus sterni berbentuk panjang, sempit, dan lebih tipis dari manubrium sterni.
Bagian ini terletak setinggi vertebra (T-V) - (T-IX). Processus xyphoideus,
bagian sternum terkecil dan paling variabel, berupa tulang rawan pada orang
muda, tetapi pada usia lebih daripada 40 tahun sedikit banyak menulang.(3)
Fraktur sternum
umum terjadi setelah kompresi traumatik pada dinding thorax (misalnya pada
kecelakaan lalu lintas, jika dada pengemudi terdorong pada batang kemudi).
Umumnya korpus sterni yang mengalami fraktur, dan biasanya bersifat fraktur
komunitiva artinya terpecah berkeping-keping. Pemasangan kantong udara dalam
kendaraan otomotif telah menurunkan frekuensi fraktur sternum dan wajah.
Untuk memasuki
kavitas torasis pada bedah jantung dan pembuluh besar, sternum dibelah dalam
bidang median. Corpus sterni seringkali dimanfaatkan untuk biopsi sumsum tulang
dengan jarum karena lebarnya dan letakya yang superfisial.(3)
c. Appertura
thoracis
Cavitas thoracis
berhubungan dengan leher melalui apertura thoracis superior yang berbentuk
seperti ginjal. Apertura thoracis superior ini yang terletak miring, dilalui
oleh struktur yang memasuki atau meninggalkan cavitas thoracis, yakni tenggorok
(trakea) , kerongkongan (esofagus), pembuluh dan saraf.(3)
Cavitas torasis berhubungan dengan abdomen melalui apertura torasis inferior yang ditutup oleh diafragma. Struktrur-struktur yang berlalu ke dan dari kavitas torasis, dari dan ke kavitas abdominis melewati diafragma (misalnya vena kava inferior) atau di belakangnya (misalnya aorta).(3)
d.
Otot saraf dan vaskularisasi dinding thorax
Otot saraf dan vaskularisasi dinding thorax
Spatium
intercostale yang khas berisi tiga lapis muskulus interkostalis. Lapis paling
superfisial dibentuk oleh muskulus intercostalis eksternus, lapis kedua oleh
muskulus intercostalis internus, dan lapis paling profunda oleh muskulus
intercostalis intimus. (3)
Setelah melewati
foramen intervertebrale, kedua belas pasang nervi thoracici terpecah manjadi
rami anteriores dan rami posteriores. Rami anteriores nervi thoracici I-XI
membentuk nervi intercostales yang memasuki spatia intercostalia. Ramus
anterior nervus thoracicus XII yang
terdapat kaudal dari costa XII, disebut nervi subcostalis. Rami posteriores
melintas ke arah dorsal, tepat lateral dari processus artikularis vertebra
untuk mempersarafi otot, tulang, sendi dan kulit di punggung.(3)
Pasokan darah
arterial untuk dinding thorax berasal dari : arteria subklavia melalui arteria
thoracica interna dan arteria intercostalis terkranial, arteria aksilaris, orta
melalui arteria intercostalis dan arteria subcostalis.(3)
Vena
intercostalis mengiringi arteria intercostalis dan terletak paling dalam
(terkranial) dalam sulcus costa. Di masing-masing sisi terdapat 11 vena
intercostalis posterior dan satu vena subcostalis. Vena intercostalis posterior
beranastomosis dengan vena intercostalis anterior yang merupakan anak cabang
vena thoracica interna. Vena intercostalis terbanyak berakhir dalam vena azygos
yang membawa darah ke venosa ke vena cava inferior.(3)
e. Pleura
Paru-paru
masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang terdiri dari dua selaput
serosa yang disebut pleura, yakni pleura parietalis melapisi dinding thorax,
dan pleura viseralis meliputi paru-paru, termasuk permukaannya fisura.(3)
Kavitas
pleuralis adalah ruang potensial antara kedua lembar pleura dan berisi selapis
kapiler cairan pleura serosa yang melumasi permukaan pleura dan memungkinkan
lembar-lembar pleura menggeser secara lancar satu terhadap yang lain pada
pernapasan. (3)
Pleura
parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum, dan diafragma. Pleura
parietalis mencakup bagian-bagian berikut 1. pleura kostal menutupi permukaan
dalam dinding thorax (sternum, cartilago costalis, costa, musculus
intercostalis, membrana intercostalis, dan sisi-sisi vertebra thoraxika); 2. pleura
mediastinal menutupi mediatinum; 3. Pleura diafragmatik menutupi permukaan
torakal diafragma; 4. pleural servikal (cupula pleurae) menjulang sekitar 3 cm
ke dalam leher, dan puncaknya membentuk kubah seperti mangkuk di atas apeks
pulmonis.(3)
2.
Fisiologi pernafasan
Rongga thorax
dapat dibandingkan dengan suatu pompa tiup hisap yang memakai pegas, artinya
bahwa gerakan inspirasi atau tarik napas yang bekerja aktif karena kontraksi
otot intercostalis menyebabkan rongga thorax mengembang, sedangkan tekanan
negatif yang meningkat dalam rongga thorax menyebabkan mengalirnya udara
melalui saluran napas atas ke dalam paru. Sebaliknya, mekanisme ekspirasi atau
keluar napas, bekerja pasif karena elastisitas/daya lentur jaringan paru
ditambah relaksasi otot intercostalis, menekan rongga thorax hingga mengecilkan
volumenya, mengakibatkan udara keluar melalui jalan napas. Adapun fungsi dari
pernafasan adalah:
Fungsi
|
Definisi
|
Ventilasi
|
memasukkan/mengeluarkan
udara melalui jalan napas ke dalam/dari paru dengan cara inspirasi dan
ekspirasi tadi.
|
Distribusi
|
menyebarkan/mengalirkan
udara tersebut merata ke seluruh sistem jalan napas sampai alveoli
|
Difusi
|
oksigen
dan CO2 bertukar melaluimembran semipermeabel pada dinding alveoli
(pertukaran gas)
|
Perfusi
|
Darah
arterial di kapiler-kapiler meratakan pembagian muatan oksigennya dan darah
venous cukup tersedia untuk digantikan isinya dengan muatan oksigen yang
cukup untuk menghidupi jaringan tubuh.
|
Setiap kegagalan atau
hambatan dari rantai mekanisme tersebut akan menimbulkan gangguan pada fungsi
pernapasan, berarti berakibat kurangnya oksigenasi jaringan tubuh. Hal ini
misalnya terdapat pada suatu trauma pada thorax. Selain itu maka
kelainan-kelainan dari dinding thorax menyebabkan terganggunya mekanisme
inspirasi/ekspirasi, kelainan-kelainan dalam rongga thorax, terutama kelainan
jaringan paru, selain menyebabkan berkurangnya elastisitas paru, juga dapat
menimbulkan gangguan pada salah satu/semua fungsi-fungsi pernapasan tersebut.(4)
3.
Definisi
Trauma thorax
adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax
akut.(1) Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan
dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya
termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada).(1)
4.
Etiologi
Trauma thorax
kebanyakan disebakan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma
tumpul (blunt thoracic trauma).
Trauma tajam atau trauma tembus (penetrating thoracic trauma) terutama
disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera thorax sering disertai dengan
cedera perut, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk.
5.
Epidemiologi
Secara
keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax
menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika
Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak
kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik
dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari
trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus
trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh
oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.(2)
6.
Klasifikasi
Dalam ATLS,
cedera thorax dibagi menjadi 2 golongan:(2)
Segera
mengancam jiwa
|
a. Obstruksi
jalan napas akut oleh sebab apapun, terutama pada cedera laringotrakea atau
cedera berat tulang muka dan jaringan lunak.
b. Kegagalan
ventilasi karena Tension pneumothorax, pneumothorax terbuka, atau flail chest.
|
Potensial
mengancam jiwa
|
a.
Trauma tumpul jantung
b.
Kontusio paru
c.
Ruptur aorta
d.
Hernia diafragmatika
karena trauma
e.
Ruptur trakeobronkial
f.
Ruptur esofagus
g.
Hemothorax sederhana
h.
Pneumothorax
sederhana
|
Dalam penanganan klinik sehari-hari, trauma thorax dapat
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.(5)
Trauma tembus (tajam)
|
Terjadi
diskontinuitas dinding thorax (laserasi) langsung akibat penyebab trauma.
Terutama akibat tusukan benda tajam (pisu, kaca, dsb) atau peluru. Sekitar
10-30% memerlukan operasi torakotomi.
|
Trauma
tumpul
|
Tidak
terjadi diskontinuitas dinding thorax. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas,
terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering akibat
trauma tumpul thorax adalah kontusio paru. Sekitar <10% yang memerlukan
operasi torakotomi.
|
a. Trauma
tembus
Trauma tembus,
biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara direk yang berlaku
tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile, misalnya, akan
menyebabkan kerusakan jaringan dengan “stretching dan crushing” dan cedera
biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada
jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ
yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut.
Derajat cidera
tergantung pada mekanisme dari penetrasi dan temasuk, diantara faktor lain,
adalah efisiensi dari energi yang dipindahkan dari obyek ke jaringan tubuh yang
terpenetrasi. Faktor–faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik dari senjata,
seperti kecepatan, ukuran dari permukaan impak, serta densitas dari jaringan
tubuh yang terpenetrasi. Pisau biasanya menyebabkan cedera yang lebih kecil
karena ia termasuk proyektil dengan kecepatan rendah. Luka tusuk yang
disebabkan oleh pisau sebatas dengan daerah yang terjadi penetrasi. Luka
disebabkan tusukan pisau biasanya dapat ditoleransi, walaupun tusukan tersebut
pada daerah jantung, biasanya dapat diselamatkan dengan penanganan medis yang
maksimal.
Peluru termasuk
proyektil dengan kecepatan tinggi, dengan biasanya bisa mencapai kecepatan
lebih dari 1800-2000 kali per detik. Proyektil dengan kecepatan yang tinggi
dapat menyebabkan dapat menyebabkan berat cidera yang sama dengan seperti
penetrasi pisau, namun tidak seperti pisau, cidera yang disebabkan oleh
penetrasi peluru dapat merusakkan struktur yang berdekatan dengan laluan
peluru. Ini karena disebabkan oleh terbentuknya kavitas jaringan dan dengan
menghasilkan gelombang syok jaringan yang bisa bertambah luas. Tempat keluar
peluru mempunya diameter 20-30 kali dari diameter peluru.
b. Trauma
tajam
Trauma tumpul
lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus, kira-kira lebih dari 90%
trauma thorax. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: 1. transfer
energi secara direk pada dinding dada dan organ thorax dan 2. deselerasi
deferensial, yang dialami oleh organ thorax ketika terjadinya impak. Benturan
yang secara langsung yang mengenai dinding thorax dapat menyebabkan luka robek
dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera thorax
dengan tekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal
sehingga menyebabkan ruptur dari organ –organ yang berisi cairan atau gas.
7.
mekanisme
Akselerasi
Kerusakan yang
terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding
lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II
(Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima
gaya perusak dari trauma tersebut).
Pada luka tembak
perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan
kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada
jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas
dibandingkan besar lubang masuk peluru.
Deselerasi
Kerusakan yang
terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh
yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh
karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus,
sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi
akibat tumbukan pada dinding thorax/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan
dari jaringan pengikat organ tersebut.
Torsio dan
rotasi
Gaya torsio dan
rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ
dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti
Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi
yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan
jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
Blast injury
Kerusakan
jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab
trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui
penghantaran gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi:
a. Sifat
jaringan tubuh
Jenis jaringan
tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan
pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada
bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur
pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada
orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara
dibanding pria, dsb.
b. Lokasi
Lokasi tubuh
tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama
pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
c. Arah
trauma
Arah gaya trauma
atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan
kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek pantulan
dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi
akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari
sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit
diperkirakan.
Hipoksia,
hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipoksia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke
jaringan oleh karena hipovolemia (perdarahan), pulmonary ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio,
hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh :
tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering
disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax
atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh
hipoperfusi dan jaringan (syok).(2)
8.
Manifestasi klinis
Berat-ringannya
trauma dinding dada, berdasarkan Thoraxic
Abbreviated Injury Scale
(AIS).
NO
|
DERAJAT
TRAUMA
|
PERINCIAN
JEJAS
|
1
|
Ringan
|
Fraktur 1 iga, memar jaringan lunak
|
2
|
Sedang
|
Fraktur 2-3
iga, dinding dada stabil, fraktur sternum, fraktur iga multiple
|
3
|
Berat, tidak mengancam hidup
|
Fraktur iga terbuka, fraktur iga lebih dari 3
|
4
|
Berat,
mengancam hidup
|
Dinding dada
tidak stabil, ada flail chest.
|
5
|
Sangat berat/kritis
|
Flail chest berat yang perlu bantuan ventilator
|
Berdasarkan
Injury Severity Scoring dari Association
for the Advancement of Automotive Medicine (AAAM).
Chest Wall Injury Scale* Grade†
|
Injury Type
|
Description
|
AIS-90
|
I
|
Contusion
Laceration
Fracture
|
Any size
Skin and subcutaneous
<3 ribs, closed; nondisplaced clavicle closed
|
1
1
1-2
|
II
|
Laceration
Fracture
|
Skin, subcutaneous and muscle
≥3 adjacent ribs, closed
Open or displaced clavicle
Nondisplaced sternum, closed
Scapular body, open or closed
|
1
2-3
2
2
2
|
III
|
Laceration
Fracture
|
Full thickness including pleural penetration
Open or displaced sternum, flail sternum
Unilateral flail segment (<3 ribs)
|
2
2
3-4
|
IV
|
Laceration
Fracture
|
Avulsion of chest wall tissues with underlying rib
fractures
Unilateral flail chest (≥3 ribs)
|
4
3-4
|
V
|
Fracture
|
Bilateral flail chest (≥3 ribs on both sides)
|
5
|
This
scale is confined to the chest wall alone and does not reflect associated
internal thoracic or abdominal injuries
Lung Injury Scale Grade*
|
Injury Type
|
Description
|
AIS-90
|
I
|
Contusion
|
Unilateral, <1 lobe
|
3
|
II
|
Contusion
Laceration
|
Unilateral, single lobe
Simple pneumothorax
|
3
3
|
III
|
Contusion
Laceration
Hematoma
|
Unilateral, >1 lobe
Persistent (>72 hrs), air leak from distal airway
Nonexpanding intraparenchymal
|
3
3-4
|
IV
|
Laceration
Hematoma
Vascular
|
Major (segmental or lobar) air leak
Expanding intraparenchymal
Primary branch intrapulmonary vessel disruption
|
4-5
3-5
|
V
|
Vascular
|
Hilar vessel disruption
|
4
|
VI
|
Vascular
|
Total, uncontained transection of pulmonary hilum
|
4
|
*
Advance one grade for multiple injuries up to grade III ; Hemothorax is scored
under thoracic vascular injury scale
Thoracic Vascular Injury Scale Grade*
|
Description
|
AIS-90
|
I
|
Intercostal
artery/vein
Internal
mammary artery/vein
Bronchial
artery/vein
Esophageal
artery/vein
Hemiazygos
vein
Unnamed
artery/vein
|
2-3
2-3
2-3
2-3
2-3
2-3
|
II
|
Azygos vein
Internal jugular vein
Subclavian vein
Innominate vein
|
2-3
2-3
3-4
3-4
|
III
|
Carotid artery
Innominate artery
Subclavian artery
|
3-5
3-4
3-4
|
IV
|
Thoracic aorta, descending
Inferior vena cava (intrathoracic)
Pulmonary artery, primary intraparenchymal branch
Pulmonary vein, primary intraparenchymal branch
|
4-5
3-4
3
3
|
V
|
Thoracic aorta, ascending and arch
Superior vena cava
Pulmonary artery, main trunk
Pulmonary vein, main trunk
|
5
3-4
4
4
|
VI
|
Uncontained total transection of thoracic aorta or
pulmonary hilum
|
5
|
Increase one grade for multiple grade III or IV injuries if
>50% circumference; decrease one grade for grade IV and V injuries if
<25% circumference.
Injury
|
AIS Score
|
1
|
Minor
|
2
|
Moderate
|
3
|
Serious
|
4
|
Severe
|
5
|
Critical
|
6
|
Unsurvivable
|
9.
Kelainan akibat trauma
dinding thorax
Trauma
dinding thorax dan paru
|
1. Fraktur
Iga
2. Pneumothorax
a. Pneumothorax
sederhana
b. Pneumothorax
terbuka
c. Tension
Pneumothorax
3. Hematothorax
4. Hematothorax
Masif
5. Flail
Chest
6. Cedera
trakea dan Bronkus
|
Trauma
jantung dan aorta
|
1. Tamponade
Jantung
2. Kontusio
Miocard
3. Trauma
Tumpul Jantung
4. Ruptur
Aorta (Traumatic Aortic Disruption)
|
Hematothorax
Hematothorax adalah
suatu keadaan dimana darah berada dalam pleural space. Darah dapat muncul dari
berbagai macam sumber, antara lain dari parenkim paru, laserasi dinding dada.
Pada trauma tumpul diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
insersi chest tube.(6)
Perdarahan yang
terjadi biasanya terletak pada pleural space, yakni antara pleura parietalis
dan visceralis.Perdarahan ke dalam pleural space merupakan akibat dari trauma
extrapleural dan intrapleural. Extrapleural dapat disebabkan oleh trauma
dinding dada yang mengenai arteri intercostalis dan mammaria interna sedangkan
intrapleural dapat disebabkan oleh parenkim paru, namun biasanya sembuh dengan sendirinya karena
tekanan pembuluh darah paru biasanya rendah. Trauma parenkim paru biasanya
dibarengi dengan pneumothorax.
Respon
fisiologis dari pembentukan hemothorax dapat dikategorikan menjadi 2 area
yakni: hemodinamika dan pernapasan. Respon hemodinamik tergantung seberapa
banyak dan seberapa cepat darah yang keluar ke rongga pleura. Kehilangan darah
hingga 750-1500 ml dapat mengakibatkan terjadinya gejala awal dari shock
(tachypnea, tachycardia, tekanan darah menurun). Respon pernapasan akibat space occupying effect dari akumulasi
darah dalam rongga pleura dapat menghambat pergerakan napas yang normal.Dalam
kasus trauma yang menyangkut cedera pada dinding thorax dapat mengakibatkan
gangguan ventilasi dan oksigenasi. Kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan
pasien alami sesak.
Apabila ini
terjadi terus menerus lama kelamaan akan terjadi empyema dan fibrothorax.
Empyema merupakan hasil dari kontamnasi bakteri yang menetap di rongga pleura
dada yang sakit, apabila tidak tertangani maka akan menyebabkan bacteremia dan septic shock.
Fibrothorax
dapat terjadi ketika deposisi fibrin tersebut berkembang pada hemothorax dan
menyelimuti kedua pleura. Kemudian terjadi proses adhesi dari kedua pleura
sehingga terjadilah air trapping yang menyebabkan paru sulir mengemmbang
sempurna. Foto thorax tegak adalah suatu diagnostik primer yang ideal untuk
evaluasi hemothorax.
Penatalaksanaan
awal apabila terjadi hematothorax pada pasien yang pada foto thoraxnya terdapat
sinus costophrenicus yang suram dengan atau tanpa pnemothorax adalah pemasangan
tube thoracostomy. Pembedahan terbuka
eksplorasi hanya dilakukan pada: 1. Evakuasi >1000 ml, 2. perdarahan yang
tak berhenti dari dada sebanyak 150-200ml/jam selama 2-4 jam dan sudah
diletakkan transfusi berulang untuk menstabilkan hemodinamik pasien.
Apabila sudah
terjadi empyema, dibutuhkan pembedahan untuk drainase. Dan apabila sudah
terjadi fibrothorax perlu dilakukan thoracotomy.
Medikamentosa
pada pasien dapat diberikan antibiotik pada pasien-pasien yang dilakukan
pemasangan WSD, selain itu juga dapat diberikan analgesik untuk mengontrol
nyerinya.
Fraktur iga
Fraktur iga
adalah akhibat trauma paling sering yang disebabkan oleh trauma tumpul dada.
Kira-kira mencapai 10% dari seluruh pasien dengan trauma tumpul dada menderita
satu atau lebih fraktur iga. Mekanisme trauma yang paling sering menyebabkan
fraktur iga pada orang tua adalah jatuh dari ketinggian, sedangkan pada orang
dewasa, kecelakaan motor adalah mekanisme yang paling sering. Iga yang terkena
biasanya iga 4-10 yakni bagian posterolateral dimana iga dinilai paling lemah.(10)
Fraktur dari dua tulang iga tanpa ada kaitan dengan pleura atau paru
biasanya ditangani secara konservatif. Namun pada orang tua dikarenakan adanya
pengurangan pada ketebalan tulang dan compliance paru yang menurun, fraktur iga
dapat berujung pada ketidakmampuan untuk batuk, menurunkan kapasitas vital dan
komplikasi infeksi. Sesak pada saat inspirasi adalah keluhan primer yang
biasanya didapatkan pada manifestasi klinis pasien setelah fraktur iga. Gejala
klinis lain yang berhubungan dengan fraktur iga adalah tanda-tanda spesifik ventilatory insufficiency seperti
sianosis, tachypnoe, retraksi sela iga dan penggunaan otot-otot bantu napas,
selain itu nyeri pada palpasi dan didapatkannya krepitasi. Fraktur iga di
konfirmasi lewat foto thorax.(9)
Komplikasi dari
fraktur iga antara lain: Gagal napas (pada fraktur iga yang multipel
membutuhkan kerja lebih keras untuk bernapas dan sangat riskan untuk terjadi
pulmonary fatigue selain itu dapat juga disebabkan oleh trauma pada dinding
dadanya), Hipoventilasi, Hipoksia, Atelektasis, Pneumonia, Pneumothorax
(langsung atau delayed), Hematothorax (langsung atau delayed) Penanganannya
terdiri atas pemberian anesthesi sempurna, antibiotik yang memadai,
ekspektoran, disertai fisioterapi.
Prognosis pada
pasien yang alami fraktur iga yang terisolasi pada pasien muda memiliki
prognosis yang baik. Namun pada pasien yang lebih tua insidens nya lebih tinggi
untuk alami komplikasi pulmoner seperti pneumonia, ARDS, hipoksemia maupun
kematian akibat pneumonia sequelae.(10)
Tension Pneumothorax
Tension
pneumothorax terjadi ketika terdapat kebocoran udara yang berasal dari
paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak
dapat keluar lagi (one way valve). Akibatnya, tekanan intrapleural akan
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan
dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan
menekan paru kontralateral.Tekanan di dalam rongga pleura akan semakin tinggi
karena penderita memaksakan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam,
tetapi ketika ekspirasi udara tidak dapat keluar (mekanisme katup). Inspirasi
paksaan ini akan menambah tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi
yang sehat dan memperburuk keadaan umum karena paru yang sehat tertekan. Karena
pembuluh vena besar, terutama v. cava inferior dan v. cava superior, terdorong
atau terlipat, darah tidak dapat kembali ke jantung, hal inilah yang
menyebabkan kematian. Penyebab tersering dari tension pneumothorax
adalah:komplikasi penggunaan ventilator dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pleura visceral komplikasi dari pneumothorax
sederhana defek atau perlukaan pada dinding dadafraktur tulang belakang thorax
yang mengalami pergeseran Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi
radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak,
distress pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas
pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara
nafas pada hemithorax yang terkena.Pada tension pneumothorax akibat trauma,
dapat terjadi emfisema. Karena tekanan tinggi di rongga pleura, udara ditekan
masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah
membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan terdapat krepitasi yang
mungkin meluas ke jaringan subkutis thorax.Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jatum
yang berukuran besar pada sela iga ke dua garis midclavicular pada hemithorax
yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumothorax sederhana. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan
selang dada pada sela iga kelima diantara garis anterior dan midaxilaris.
Open
Pneumothorax
Defek atau luka
besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumothorax terbuka. Tekanan
dalam rongga pleura akan menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada
dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia.Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril (
plastic wrap atau petrolatum gauze) yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.
Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter type valve
(saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka mencegah kebocoran udara dari
dalam, saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar).
Setelah itu sesegera mungkin dipasang selang dada tang harus berjauhan dari
luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan tension pneumothorax,
kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Flail Chest
Flail chest
terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel
pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
segmen flail chest menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika
terjadi kerusakan parenkim paru dibawahnya sesuai dengan kerusakan pada tulang,
maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama adalah trauma
parenkim paru yang mungkin terjadi (contusio paru).
Terapi awal yang
diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan
resusitasi cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru, maka akan sangat sensitif
terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih
spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Flail chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya karena splinting dengan dinding dada.
Gerakan pernafasan menjadi buruk dan thorax bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau
fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto thorax akan lebih jelas
karena akan terlihat fraktur tulang iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya
sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisa gas darah yaitu
adanya hipoksia akibat kegagalan pernafsan juga membantu dalam diagnosis.
Terapi definitif
ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator.Pencegahan hipoksia merupakan hal
penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan
untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada
penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati terhadap
frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan
akan memberikan suatu indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
10. Patofisiologi
Akibat dari
trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar
masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil
pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik
(sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan
suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia
pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat
memacu terjadinya Adult Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), Systemic
Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis.Hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan
akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch
(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus)dan perubahan dalam tekanan
intrathorax (contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka). Hiperkarbia
lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan
tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik
disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).(7)
11. Pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan
|
Jenis
pemeriksaan
|
Pemeriksaan
laboratorium
|
1. Darah
preifer lengkap
2. Analisa
gas darah
|
Pemeriksaan
radiologis
|
1. Rontgen
thorax
2. Ct
Scan thorax
|
12. Pengelolaan
trauma thorax
Prinsip
pengelolaan : primary survey, Resusitasi fungsi vital, Secondary survey yang
rinci dan Penanganan definitive.
Hipoksia adalah
masalah yang sangat serius pada trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan
untuk pencegahan dan mengoreksinya. Trauma yang bersifat mengancam nyawa harus
secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. Kebanyakan
kasus trauma thorax yang mengancam nyawa di terapi dengan mengontrol airway
atau melakukan pemasangan chest tube atau dekompresi thorax dengan jarum.
Secondary survey membutuhkan anamnesis trauma dan kewaspadaan yang tinggi
terhadap adanya trauma-trauma yang spesifik.
Primary survey
Cedera thorax
yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan napas, hemothorax
besar, tamponade jantung, tension pneumothorax, dada gail (flail chest, dada
instabil), pneumothorax terbuka dan kebocoran udara trakea-bronkus.Semua
kelainan ini menyebabkan gawat dada atau thorax akut yang analog dengan gawat
perut, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan
dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru dan
perdarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan
merupakan tindakan operasi, seperti membebaskan jalan napas, aspirasi rongga
pleura, aspirasi rongga pericard, dan menutup sementara luka dada. Akan tetapi,
kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus di dada harus segera ditutup
dengan jahitan yang kedap udara. Berikut adalah tabel
mengenai gangguan ABC (airway, breathing,
circulation) yang dapat menyebabkan gawat dada:
Penyebab
|
Diagnosis
|
|
A
|
Obstruksi
jalan nafas
|
- Sianosis, pucat, stridor
|
- Kontraksi otot bantu nafas (+)
|
||
- Retraksi supraklavikula dan intercostal
|
||
B
|
Kebocoran
trakea
|
- Suara nafas bronchial
|
- Pneumothorax
|
||
- Emfisema
|
||
- Infeksi
|
||
Flail
chest
|
- Gerakan nafas paradoks
|
|
- Sesak nafas, sianosis
|
||
Pneumothorax
terbuka
|
- Luka pada tinding thorax
|
|
- Kebocoran udara yang terdengar dan tampak
|
||
Tension
pneumothorax
|
- Hemithorax mengembang
|
|
- Gerakan hemithorax kurang
|
||
- Suara nafas berkurang
|
||
- Sesak nafas progressif
|
||
- Emfisema subkutis
|
||
- Trakea terdorong ke sisi sebelah
|
||
C
|
Hemothorax
massif
|
- Anemia, syok hipovolemik
|
- Sesak napas
|
||
- Pekak pada perkusi
|
||
- Suara nafas berkurang
|
||
- Tekanan vena sentral tidak meninggi
|
||
Tamponade
jantung
|
- Syok kardiogenik
|
|
- Tekanan vena meninggi (leher)
|
||
- Bunyi jantung berkurang
|
a. Airway
Trauma utama
pada airway harus dikenal dan diketahui selama primary survey. Patensi airway
dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada hidung.,
mulut dan lapang paru serta dengan inspeksi pada daerah orofaring untuk
sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot
interkostal dan supraklavikular.
Trauma laring
dapat bersamaan dengan trauma thorax. Walaupun gejala klinis yang ada kadang
tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring merupakan cedera yang
mengancam nyawa. Trauma pada dada bagian atas, menyebabkan dislokasi ke arah
posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular, dan dapat
menimbulkan sumbatan airway atas. Sumbatan airway atas juga dapat terjadi bila
displacement fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan
trachea. Hal ini juga dapat menyebabkan trauma pembuluh darah pada ekstremitas
yang homolateral karena kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang
utama arkus aorta.
Trauma ini dapat
diketahui bila ada stridor, tanda berupa perubahan dari kualitas suara (bila
penderita masih dapat berbicara), dan trauma luas pada dasar leher yang akan
menyebabkan terabanya defek pada regio sendi sternoklavikular.
Penanganan pada
trauma ini adalah menstabilkan patensi airway, yaitu dengan intubasi
endotracheal (bila memungkinkan), walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakuakn
jika ada tekanan cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi
tertutup dari trauma yang terjadi dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat
klavikula dengan ponted clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur
secara manual. Tindakan di atas dilakuakan pada posisi berbaring jika kondisi
penderita stabil.
b. Breathing
Dada dan leher
penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-vena leher.
Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi
dan didengarkan.
Gejala yang
terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia, termasuk peningkatan frekuensi
dan perubahan pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan lambat memburuk.
Sianosis adalah gejala hipoksia lebih lanjut dari penderita trauma, tetapi bila
sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan
adekuat atau airway adekuat. Trauma thorax yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan dan harus dikenali dan di tangani saat primary survey termasuk
adanbya tension dan open pneumothorax, flail chest, kontusio paru dan
hemothorax masif.
c. Circulation
Denyut nadi
penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya. Pada penderita
hipovolemia, denyut nadi a. radialis dan a. dorsalis pedis mungkin tidak teraba
oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan
sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan
temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Ingat distensi
vena leher mungkin tidak tampak pada penderita hipovolemia walaupun ada
tamponade jantung, tension pneumothorax, amupun perlukaan diafragma traumatik.
Monitor jantung
dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita. Penderita yang dicurigai
trauma thorax terutama pada daerah sternum atau trauma deselerasi yang hebat
harus dicurigai adanya trauma miokard
apabila ada disritmia. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia, mungkin
membutuhkan terapi dengan bolus lidocain segera (1 mg/kg) dilanjutkan dengan
drip lidokain (2-4 mg/menit).
·
Hematothorax Masif
Terapi awal hemothorax
masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan
dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat
dengan jarum besar, kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik
secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang
cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1500 ml, kemungkinan
besar penderita tersebut memerlukan torakotomi segera.
Keputusan
torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak
200cc/jam dalam waktu 2 samapi 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap
lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk
torakotomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada dan kehilangan darah selanjutnya harus
ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri
atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar
dilakukannya torakotomi.
Luka tembus
thorax di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah
posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar,
struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi
harus dilakukan oeh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah
mendapat latihan.
·
Tamponade Jantung
Diagnosis
tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, enurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh, Penilaian
suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan
berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia
dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia.
Tanda Kussmaul
(peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal
tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya tamponade jantung. PEA
pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai
adanya tamponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi
tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain.
Pemeriksaan USG (Echocardiography)
meruakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi
banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang tinggi yaitu sekitar 50%.
Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan dikantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.
Evakuasi cepat
darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik,
tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade
jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk
mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan
cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi
adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap
usaha resusitasi merupakan indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosentesis
melaluin metode subxyphoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi
jendela perikard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah.
Prosedur ini akan lebih baik dilakukan diruang operasi jika kondisi penderita
memungkinkan.
Walaupun
kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal
masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk
sementara, sambil melakukan pesiapan untuk tindakan perikardiosintesisn melalui
subxyphoid pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi
dengan tekhnik seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang
lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring
elektrokardiogragi dapat menunjukan tertusuknya miokard (peningkatan voltase
dari gelombang T, ketika jarum perikardiosentesis menyentuh epikardium) atau
terjadinya disritmia.
·
Torakotomi Resusitasi
Pijatan jantung
tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada keadaan penderita
yang hipovolemia. Penderita dengan luka tembus thorax yang sampai di rumah
sakit tidak teraba denyut nadi tetapi masih ada aktivitas elektrik dari miokard
merupaakn calon untuk torakotomi resusitasi secepatnya. Seorang ahli bedah yang
berpengalaman harus ada ketika penderita sampai diruang gawat darurat untuk
menetapkan indikasi dan menjamin suksesnya resusitasi torakotomi tersebut.
Torakotomi
antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses langsung ke jantung,
sambil meneruskan resusitasi cairan. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik
mutlak harus dikerjakan. Penderita dengan trauma tumpul yang sampai dirumah
sakit dan tidak teraba denyut nadi akan tetapi masih ada aktifitas miokard
tidak ada indikasi torakotomi resusitasi.
Tindakan terapi
efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi adalah :
1. Evakuasi darah di perikard yang menyebabkan
tamponade jantung.
2. Kontrol langsung sumber perdarahan
padaperdarahan intrathorax.
3. Klem silang aorta descendens untuk mengiurangi
kehilangan darah dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi ke otak dan
jantung.
Berbeda hasilnya
jika ini dilakukan pada trauma tumoul. Banyak laporan mengkonfirmasikan tidak
efektifnya hasil torakotomi di ruang gawat darurat untuk penderita yang
mengalami henti jantung setelah trauma tumpul. Setelah memberikan terapi
perlukaan yang tergolong Immediate Life-Threatening, perhatian dapat diteruskan
ke secondary survey.
Secondary survey
Secondary
survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalam dan teliti. Foto thorax
tegak dibuat jika kondisi penderita memungkinkan , serta pemeriksaan analisis
gas darah, monitoring pulse oximeter dan elektrokardiogram. Pada foto thorax
harus dinilai pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya pelebaran
mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran detail
anataomis mediastinum. Pada fraktur iga pertama atau fraktur iga multipeldan
atau iga kedua hrus dicurigai bahwa trauma yang terjadi pada thorax dan
jaringan lunak di bawahnya sangat berat.
13.
Tindakan ada penanganan trauma thorax
Tindakan ada penanganan trauma thorax
Thoracocentesis
Jarum
Prosedur ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumothorax. Jika tindakan ini dilakukan pada pasien bukan tension pneumothorax, dapat terjadi tension pneumothorax atau kerusakan parenkim paru.
1.
Identifikasi thorax
penderita dan status respirasi.
2.
Berikan oksigen dengan aliran tinggi
dan ventilasio sesuai kebutuhan.
3.
Identifikasi sela iga II di
linea midklavikula di sisi tension pneumothorax
4.
Asepsis dan antisepsis
dada.
5.
Anestesi lokal jika pasien
sadar atau keadaan memungkinkan.
6.
Penderita berada pada
posisi tegak jika fraktur cervical sudah disingkirkan.
7.
Pertahankan Luer-Lok di
ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara
langsung tepat diatas iga kedalam sela iga.
8.
Tusuk pleura parietal
9.
Pindahkan Luer-Lok dari
kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan
tension pneumothorax telah teratasi.
10. Pindahkan
jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter.Tinggalkan kateter plastik
ditempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.
11. Siapkan
chest tube, kalau perlu chest tube harus dipasang setinggi puting susu
anterior linea midaksilaris pada bagian hemithorax yang terkena.Hubungkan
chest tube ke WSD atau katup tipe flutter dan cabut kateter yang digunakan
untuk dekompresi tension pneumothorax.
12. Lakukan
rontgen thorax.
|
Komplikasi
Thorakosentesis adalah Hematom local, Infeksi pleura, empyema dan Pneumothorax
Insersi Chest Tube
Sistem drainase
a. Heimlich
valve
Penggunaan
terbatas pada ruang ICU. Lebih sering digunakan pada pasien pneumothorax yang
tidak dirawat. Chest tube dipasang pada one way flutter menggunakan five in one
konektor. Ketika terjadi inpirasi, plastik kontainer Heimich valve kolaps. Saat
ekspirasi, katup tersebut terbuka, dan membiarkan udara mengalir ke luar ronnga
thorax. Dilakukan pemasangan bag bila diperlukan.
b. Sistem
satu botol
Botol berfungsi
sebagai penampung dan underwater seal. Mencegaj udara masuk ke rongga pleura
selama inspirasi. Air di botol akan masuk di selang selama inspirasi, tingginya
sesai dengan tekanan negatif di rongga thorax (dalam cm). Digunakan salin atau
air steril untuk menjaga canul 2-3 cm di bawah permukaan air. Udara dalam
rongga thorax akan keluar melalui underwaterseal pada fase ekspirasi.
Kekurangan sistem ini adalah adanya cairan yang keluar dari rongga pleura
meningkatkan volume cairan dalam botol, sehingga udara menjadi lebih sulit
keluar.
c. Sistem
dua botol
Satu botol
berfungsi sebagai penampung cairan dan yang satunya sebagai underwater seal.
Cairan terakumulasi di botol pertama, udara mengalir ke botol pertama kemudian
ke botol kedua sebagai waterseal. Suction dapat digunakan pada botol kedua.
Fluktuasu di botol kedua sama signifikan dengan botol pertama. Kekurangan
sistem ini adalah jumlah tekanan negatif selama aspirasi tidak dapat dikontrol
dengan baik.
d. Sistem
tiga botol
Botol ketiga
(botol control suction) menguraangi resiko injury parenkim paru dari
over-suction, karena banyak unit yang menggunakan wall-suction daripada unit
suction pleura. Botol kontol suction memiliki tiga kanul: (1) dari botol
waterseal, (2) ke wall suction, (3) masuk ke dalam botol yang ujungnya berada
di bawah level air yang sudah ditentukan (biasanya 10-20 cm di bawah
permukaan). Misalnya 15 cm salin diletakkan didalam botol, maka tekanan
negatifnya adalah 15 tanpa memperhatikan tekanan wall suction yang digunakan.
Botol ketiga harus selalu bergelembung, jika tidak, maka jumlah suction
ydinding belum mencukupi.
e. Comersial
unit
3 botol sistem dalam
satu plastik tertutup. Kelebihan sistem ini adalah bentuknya yang simple, tidak
mudah pecah, sekali pakai.Water seal chamber meliputi udara, level tekanan
pleura, dan respiratory tidal. Dapat digunakan tekanan negatif mulai dai 0 -
-40 cmH2O. gelembung menunjukan kebocoran yang terus menerus. Ketinggian air
saat inspirasi menunjukan tekanan pleura. Suction control chamber harus selalu
bergelembung.
Langkah-langkah:
1. Resusitasi
cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber besar, dan
monitor tanda-tanda vital harus dilakukan.
2. Tentukan
tempat insersi, biasanya setinggi puting (sela iga V) anterior garis linea
midaksilaris pada area yang terkena.Chest tube kedua mungkin dipakai pada
hemithorax.
3. Siapkan
pembedahan dan tempat diinsersi ditutup dengan kain.
4. Anestesi
lokal kulit dan periosteum iga.
5. Insisi
transversal (horizontal) 2-3 cm pada tempat yang ditentukan dan diseksi
tumpul melalui jaringan subkutan, tepat diatas iga.
6. Tusuk
pleura parietal dengan ujung klem dan masukkan jari ke dalam tempat insisi
untuk mencegah melukai organ yang lain dan melepaskan perlekatan darah,
bekuan darah, dll.
7. Klem
ujung proksimal tube thoraxostomi dan dorong tube ke dalam rongga pleura
sesuai panjang yang diinginkan.
8. Cari
adanya”fogging”pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran udara.
9. Sambung
ujung tube thoraxostomi ke WSD.
10. Jahit
tube ditempatnya.
11. Tutup
dengan kain/kasa dan plester.
12. Buat
foto rontgen thorax.
13. Pemeriksaan
AGD sesuai kebutuhan.
|
Komplikasi
a. Laserasi
atau menusuk intrathorax atau organ abdomen,dapat dicegah dengan tekhnik jari
sebelum melakukan insersi.
b. Infeksi
pleura (empiema).
c. Kerusakan
saraf interkostal,vena,arteri :
·
Pneumothorax menjadi
hematothorax
·
Neuritis interkostal/neuralgia.
d. Posisi
tube yang keliru,intrathorax/ekstrathorax.
e. Lepasnya
chest tube dari dinding dada atau lepasnya sambungan dengan WSD.
f. Pneumothorax
persisten:
·
Kebocoran primer yang
besar.
·
Kebocoran dikulit
sekitar chest tube, pengisapan pada tube terlalu kuat.
·
WSD yang bocor.
g. Emfisema
subkutis.
h. Pneumothorax
rekurrent setelah pencabutan tube, penutupan luka setelah thoraxostomi tidak
segera dilakukan.
i.
Gagalnya paru
mengembang akibat adanya plak bronkus, perlu bronkoskopi.
j.
Reaksi anafilaktik atau
alergi obat anestesi atau persiapan bedah
Torakostomi
Merupakan insersi chest tube ke dalam rongga pleura
untuk mengeluarkan udara, darah, pus, atau cairan lainnya. Indikasi pneumothorax,
Hemothorax, Hemopneumothorax, Empiyema dan Efusi Pleura. Sedangkan
kontraindikasi absolut berupa adesi torak, pulmo dan pleura.
Laki-laki
Perempuan
Anak
Infant
Neonatus
|
28-32 F
28 F
12-28 F
12-16 F
10-12 F
|
Persiapan berupa alat steril glove, minor set, Lidokain
1%, Syringe 10-50 cc, Jarum no 23 untuk
insersi anastesi local, Pisau no 10, Klam Kelly
besar dan sedang, needle holder, kasa persegi 4x4, Plaster 4 sisi, cairan
antiseptic; benang dan jarumnya; duk bolong, dan Chest Tube.
Prosedur dari torakostomi adalah sebagai berikut:
1. Posisikan
pasien dengan sudut 45o C
2. Identifikasi
ICS 5 dan MCL( insisi kulit diantara MCL dan AAL di atas tulang rusuk yang
berada di bawah tingkat interkostal dipilih untuk penyisipan dada tabung)
3. Injeksi
anastesi lokal dan infiltrasi
4. Insisi
kulit, menembus kutis dan subkutis
5. Masukkan
Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan
6. Masukkan
jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura /
menyentuh paru
7. Klem
Kelly digunakan untuk dimasukkan kedalam dinding thorax dan menuju rongga
pleura
8. Masukkan
selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan
Kelly forceps
9. Selang
( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding
dada.
10. Selang
( chest tube ) disambung ke botol WSD yang telah disiapkan dan telah di
batasi.
11. Foto
X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan
|
Setelah prosedur harus dinilai volume cairan, jenis
cairan, inisial bubble, continous bubble, undulasi, serta force expiratory
bubble.
Indikasi pencabutan, adalah jika paru-paru reekspansi
yang ditandai dengan Tidak ada undulasi, Cairan yang keluar tidak ada, tidak
ada gelembung udara, dari pemeriksaan fisik tidak ada cairan dan udara, dari
pemeriksaan rotgen tidak ada cairan atau udara, atau Jika selang chest tube tersumbat dan tidak
dapat diatas dengan spooling atau pengurutan tube
Torakotomi
Indikasi operatif pada trauma tajam thorax dapat
dilihat pada tabel dibawah. Indikasi untuk torakotomi pada trauma tumpul didasarkan
pada diagnosis spesifik pra operasi, diantaranya tamponade perikardial,
kebocoran aorta desending thorax, ruptur bronkus utama dan ruptur esofagus.
Torakotomi untuk hemothorax tanpa adanya diagnosa diatas jarang dilakukan.
1. Monitor
tanda vital penderita, CVP, dan EKG sebelum, selama, dan sesudah prosedur.
2. Persiapan
bedah pada area xiphoid dan subxiphoid, jika waktu mengizinkan.
3. Anestesi
di tempat pungsi, jika perlu.
4. Gunakan
#16-#18 gauge, 6 inchi (15 cm) atau kateter jarm yang lebih panjang,
terpasang pada tabung jarum kosong 35 ml dengan 3 way stopcock.
5. Identifikasi
adanya pergeseran mediastinum yang menggeser jantung secara bermakna.
6. Tusuk
kulit 1-2 cm inferior xiphokondrail junction kiri, dengan sudut 45 derajat.
7. Dorong
jarum dengan hati-hati ke arah sefalad dan ditunjukkan ke ujung skapula kiri.
8. Jika
jarum didorong terlalu jauh (ke otot ventrikular) pola trauma (mis, perubahan
ekstrim gelombang ST-T atau melebar dan membesarnya kompleks QRS) muncul pada
monitor EKG. Pola ini mengindikasikan jarum perikardiosentesis harus ditarik
sampai pola EKG sebelumnya muncul kembali.Kontraksi ventrikular prematur
dapat terjadi juga, sekunder terhadap iritasi pada miokard ventrikel.
9. Ketika
ujung jarum memasuki perikard yang terisi darah, hisap sebanyak mungkin.
10. Selama
aspirasi, epikardium kembali mendekat dengan permukaan dalam perikard, juga
mendekati ujung jarum.Akibatnya pola trauma pada EKG muncul kembali.Hal ini
menandakan jarum perikardiosentesisnharus ditarik sedikit. Jika pola trauma
ini persisten,tarik seluruh jarum keluar.
11. Sesudah
aspirasi selesai, cabut tabung jarum, dan sambungkan ke 3 way stepcock,
tinggalkan stopcock tertutup. Pertahankan posisi kateter di tempatnya.
12. Jika
gejala tamponade jantung persistent, buka stopcock dan perikard diaspirasi
ulang.Jarum plastik perikardiosentesis dapat dijahit atau diplester dan
ditutup denga kain/kasa kecil untuk memungkinkan dilakukan dekompresiberulang
atau pada saat pemindahan penderita ke fasilitas medis lain.
|
Komplikasi :
a.
Aspirasi darah
ventrikel dan bukan darah erikardium.
b.
Laserasi ventrikel
epikard/miokard.
c.
Laserasi arteri/vena
koroner.
d.
Hemoperikardium baru,
sekunder terhadap laserasi artei/vena koroner, dan atau ventrikel epikard/miokard.
e.
Fibrilasi ventrikel.
f.
Pneumothorax, sekunder
terhadap fungsi paru.
BAB III
KESIMPULAN
Trauma
thorax merupakan penyebab mortalitas bermakna. Sebagian besar pasien
meninggal setelah sampai di Rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Mayoritas
kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
thorax.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Sjamsuhidajat
R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2: Tindak Bedah Organ dan Sistem
Organ. 2005. Jakarta: EGC; p.406-13
2)
Komisi
Trauma IKABI. Advanced Trauma Life
Support for Doctors: ATLS Student Course Manual. 8th ed. 2008. Chicago:American
College of Surgeons Committee on Trauma; p.97-113
3)
Moore, KL & Agus AMR. Essential Clinical Anatomy: Anatomi Klinis Dasar. 5th ed. 2002. Jakarta:Hippokrates.
4) Hall, Guyton. Fisiologi
Kedokteran Bab VII:Pernafasan. Ed 11. Jakarta: EGC. 2007. Hal 495-510
5)
Rachmad,
KB, Tjahyono, AS, Wibawanto, AW, et al. Penanganan
Trauma Thorax. 1st ed. 2002. Jakarta: Subbag Ilmu Bedah Thorax,
FKUI; p.79-84
6)
Mattox, KL, Moore E,
Feliciano DV. Trauma. 6th
ed. 2008. McGraw-Hill; p.1029-32
7)
Sugarbaker,
DJTownsend, Neauchamp, Evers, Mattox.Sabiston Textbook of Surgery.18th
ed. 2008. Saunders. p.2156
8)
Mancini MC. Hemothorax. 2012. WebMD [Updated:
September 14th, 2012. Citated: August 23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview
9)
Sugarbaker,
DJTownsend, Neauchamp, Evers, Mattox. Sabiston Textbook of Surgery.18th
ed. 2008. Saunders. p.664-5
10)
Melendez SL. Rib
Fracture. 2012. WebMD [Updated: September 24th, 2012. Citated August
23rd, 2013] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/825981-overview
Tidak ada komentar:
Posting Komentar