BAB I
PENDAHULUAN
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tin: 4)
1.1
Latar
Belakang
Tuhan
telah menciptakan manusia dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita, dengan Adam
dan Hawa sebagai cikal bakalnya. Fenomena transeksual yang diikuti dengan
tindakan operasi merubah kelamin, sebenarnya mempunyai implikasi yang akan
menyentuh banyak aspek, masalah ini merupakan suatu gejala ketidakpuasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
dengan kejiwaan ataupun dengan ketidakpuasan dengan alat kelamin yang
dimilikinya.
Selain
faktor bawaan sejak lahir, fenomena ini juga bisa disebabkan oleh faktor
lingkungan. Seperti pendidikan yang salah sewaktu kecil dengan membiarkan anak
laki-laki berkembang dengan tingkah laku perempuan, trauma pergaulan seks
dengan pacar, dan sebagainya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up,
gaya dan tingkah laku, bahkan sampai operasi penggantian kelamin. Ironisnya, di
media pertelevisian Indonesia seakan menyemarakkan dan menyosialisasikan
perilaku ketransseksualan dalam berbagai acara yang memberikan porsi kepada
para waria dan semacamnya sebagai pengisi acara atau pembawa acara, yang secara
tidak langsung membiasakan masyarakat dengan fenomena semacam itu. Dewasa ini
masyarakat sudah tidak risih dengan keberadaan para guy atau waria yang mungkin
juga disebabkan oleh kebiasaan mereka menonton idola mereka di televisi yang
notabene adalah seorang waria atau guy. Dan seakan artis seperti Dorce Gamalama
yang telah melakukan operasi alat kelamin di Singapore merupakan figur yang
berani dan patut dicontoh karena telah mengikuti apa kata nuraninya.
Namun
fenomena transeksual atau biasa disebut juga transgender tidak selalu diikuti
oleh kecendrungan untuk operasi perubahan kelamin. Keinginan melakukan operasi
tersebut umumnya di pengaruhi oleh tingkat pemahaman dan keyakinan penderita terhadap
agama yang dianut. Pemikiran tersebut nampak pada pandangan mereka terhadap
eksistensi diri, baik di hadapan masyarakat maupun di hadapan Tuhan.
1.2
Rumusan
Masalah
Dalam hukum Indonesia sendiri belum ada ketentuan
yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah transseksual maupun kedudukan
para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya globalisasi di dunia,
masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul. Para waria dengan
mudah dapat ditemui di berbagai sudut kota. Bahkan di Thailand, secara rutin
dalam setahun diadakan kontes kecantikan untuk para waria yang belakangan
rupanya juga telah ada di Indonesia.
Dengan pemaparan diatas, berikut beberapa rumusan
masalah yang kami bahas, yaitu :
1.
Bagaimana
pandangan Islam tentang kelamin?
2. Bagaimana pandangan medis tentang kelamin?
3. Apa pengertian operasi perubahan dan
penyempurnaan kelamin?
4. Apa saja faktor penyebab operasi perubahan
dan penyempurnaan kelamin?
5. Apa saja jenis operasi perubahan dan
penyempurnaan kelamin dan bagaimana
hukumnya?
6. Bagaimana fatwa MUI tentang operasi
perubahan dan penyempurnaan kelamin?
7. Bagaimana kedudukan hukum perubahan dan
penyempurnaan kelamin?
8. Apa saja akibat dari operasi perubahan dan
penyempurnaan kelamin?
9.
Bagaimana
pencegahan dari operasi perubahan dan penyempurnaan kelamin?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pandangan Islam tentang Kelamin
Pada
dasarnya Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari 2 macam jenis kelamin yaitu
laki-laki dan perempuan.[1]
Sebagaimana telah dituturkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 sebagai
berikut:
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat: 13).
Jika
berbicara kelamin berarti ini berkaitan dengan gender beserta alat
reproduksinya. Perspektif gender
dalam Al Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tetapi lebih dari itu Al Qur’an juga
mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos
(alam), dan Tuhan.
Secara
umum Al Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi
perbedaan tersebut bukanlah diskriminasi yang menguntungkan satu pihak dan yang
lain dirugikan. Perbedaaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi Al
Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa
kasih sayang di lingkungan keluarga. Sebagaimana telah dituturkan dalam Al
Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 sebagai berikut:
2.2
Pandangan Medis tentang Kelamin
Jenis
kelamin merujuk pada sekse
anatomis seseorang dengan kata lain tipe genital apa yang dimilki. Sekse atau
jenis kelamin mewakili penampakan internal genitalia, dan terdapat gonad
(ovarium dan testis) yang menentukan fungsi reproduktif sekaligus hormon yang
membentuknya.[2]
Gender
lebih sulit dan lebih kompleks untuk dipersepsikan atau digambarkan. Gender
yakni pengenalan atau kesadaran pada diri seseorang, yang juga diharapkan
berbeda dengan orang lain, seperti yang sesuai dengan kategori sosial: anak
laki-laki atau anak perempuan. Mayoritas populasi memilki gender yang sesuai
dengan jenis kelamin anatomis. Gender terbagi menjadi dua aspek:
Identitas
gender, yakni persepsi internal pengalaman seseorang tentang gender mereka,
menggambarkan identifikasi psikologis di dalam otak seseorang sebagai laki-laki
atau perempuan.
Peran
gender, merupakan sebuah cara seseorang hidup dalam masyarakat dan berinteraksi
dengan orang lain berdasarkan identitas gender mereka.
2.3
Operasi Perubahan dan Penyempurnaan Kelamin
Operasi kelamin adalah tindakan perbaikan atau
penyempurnaan kelamin seseorang karena terjadinya kelainan sejak lahir atau
karena penggantian jenis kelamin.[3]
Operasi
ganti kelamin (taghyir al-jins)
adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi
perempuan atau sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan
dilakukan dengan memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin
perempuan (vagina) dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin
perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran
kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi ini
juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (M. Mukhtar
Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibbiyah, hal. 199).[4]
2.4
Faktor Penyebab Operasi dan Penyuburan
Kelamin
1. Psikososial
Seseorang
yang mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari
jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks
dan lesbianisme.
Adapun
dari perilaku tersebut didapat dari perlakuan orang tua yang menginginkan anak
laki-laki tetapi diberikan anak perempuan sehingga orang tua memberikan
perhatian anak tersebut seperti anak perempuan mulai dari pakaian hingga
perilaku.
Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon
yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan
kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya
normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki
kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan
kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang.
2. Genetik
Adanya
ketidakseimbangan hormonal yang terjadi pada seseorang yang mengalami kelainan
pada bentuk, jenis dan hormone yang pada masa pubertas tidak mengalami
perubahan yang tidak seharusnya.[5]
Dalam dunia kedokteran dikenal
tiga bentuk operasi kelamin, masing-masing mempunyai hukum tersendiri dalam
fikih :
1. Operasi penggantian jenis kelamin yang
dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal.
Operasi ganti kelamin dalam
keadaan seperti ini, belum pernah dikenal oleh orang-orang terdahulu. Tetapi
para dokter mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari penyakit
transeksual/transgender yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki
yang seperti wanita atau wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai
kelainan fisik/ alat kelamin (genital). Atau dengan istilah lain, bahwa sang
penderita atau pasien merasakan bahwa dirinya adalah jenis lain yang bukan pada
dirinya. Seakan ia merasakan bahwa jiwanya adalah perempuan padahal fisiknya
adalah laki-laki, atau ia merasakan bahwa jiwanya adalah laki-laki padahal
bentuk fisiknya adalah perempuan. Antara jiwa dan fisik tidak dapat saling
menyatu. Orang yang mempunyai penyakit transeksual ini mempunyai dua keadaan :
a. Penyakit
yang muncul akibat faktor psikologis dan kejiwaan.
Hal ini terjadi karena salah dalam pola asuh sejak
kecil, atau karena pergaulan yang salah. Untuk jenis yang pertama ini,
penanganannya bukan dengan cara operasi kelamin, tetapi kejiwaannyalah yang
harus diobati dan disembuhkan. Penyimpangan psikologis ini kadang muncul sejak
kecil, hanya saja sering dianggap remeh, sehingga lama kelamaan menjadi semakin
besar dan akhirnya susah untuk dirubah, dan ujung-ujungnya menganggap ini
sebagai taqdir, padahal itu hanya karena kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak
kecil dan lama, serta tidak terkait dengan fisiknya.
Islam sejak dini telah mengajarkan kepada kita untuk
memisahkan tempat tidur laki-laki dan perempuan ketika sudah berumur 10 tahun,
salah satu tujuannya agar mereka tidak berkepribadian ganda dikemudian hari.
Kesimpulannya, bahwa operasi merubah kelamin dari orang yang mempunyai kelamin
normal dalam bentuk yang pertama seperti ini hukumnya haram, karena tidak
ditemukan hubungan antara ketidak normalan fisik atau organ tubuh seseorang. (Dr.
Muh. Mukhtar as-Syenkiti, Ahkam al-Jirahiyah at-Tibbiyah, Jeddah, Maktabah as-Shohabah,hlm.
200- 202). Dalil-dalilnya
adalah sebagai berikut :
Pada dasarnya, Allah swt telah menciptakan manusia
ini dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah swt: Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya; (Qs At Tin : 4).
Penciptaan manusia dalam bentuk yang baik tersebut
merupakan penghormatan kepada manusia, sebagaimana firman Allah swt: Sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan
Adam dan Kami bawa mereka di daratan dan di lautan (Qs Al Isra: 70). Oleh
karenanya, kita sebagai hamba Allah dilarang untuk merubah ciptaan-Nya yang
sudah sempurna. Larangan ini tersebut di dalam firman Allah swt dalam QS.
An-Nisa’: 119 ketika menceritakan perkataan syetan (Syetan berkata) berikut:
“Dan aku
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong
pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong-motong telinga binatang ternak),
lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh
mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barang
siapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya
ia menderita kerugian yang nyata.” (Qs An Nisa: 119).
Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa awal
tindakan merubah ciptaan Allah swt berasal dari bisikan syetan. Rasulullah saw
sendiri bersabda : Rasulullah telah melaknat orang-orang laki-laki yang
meniru-niru (menyerupai) perempuan dan perempuan yang meniru-niru (menyerupai)
laki-laki ( HR Bukhari )
b. Waria
yang disebabkan adanya perbedaan keadaan psikis dan fisik
Hal ini dapat digambarkan seperti ketidaknormalan
sistem tubuh atau terjadi percampuran hormon laki-laki dan perempuan, yang
berakibat munculnya perasaan dalam dirinya yang berbeda dengan fisik tubuhnya. Maka
dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: Pendapat Pertama: bahwa operasi
ganti kelamin untuk orang yang keadaannya seperti ini tetap tidak boleh. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama. Dasarnya adalah ayat-ayat al Quran dan hadist-hadits yang telah disebutkan di
atas.Pendapat Kedua: bahwa operasi
ganti kelamin untuk orang yang keadaanya seperti ini, dibolehkan. Ini adalah
pendapat sebagian kecil ulama kontemporer. Diantara dalil dari pendapat ini
adalah sebagai berikut :
Menurut kesaksian mayoritas dokter bahwa memang benar
adanya orang yang mempunyai penyakit seperti ini, mereka menyebutnya dengan
transeksual, yaitu terpisahnya antara bentuk fisik dengan psikis, yaitu bentuk
fisiknya adalah laki-laki umpamanya, tetapi perasaannya bahwa dia bukanlah
laki-laki. Penyakit ini menyebabkan orang tersiksa dalam hidupnya, sehingga
kadang-kadang diakhiri dengan bunuh diri. Pengobatan secara kejiwaan sudah
dilakukan berkali-kali oleh para dokter, tetapi tetap saja gagal. Maka tidak
ada jalan lain kecuali operasi ganti kelamin. Keadaan seperti ini bisa
dikatagorikan darurat. Karena tanpa operasi tersebut seseorang tidak akan bisa
hidup tenang dan wajar sebagaimana yang lain, hidupnya akan dirundung
kegelisahan demi kegelisahan, dan tidak sedikit yang diakhiri dengan tindakan
bunuh diri. Kalau kita perhatikan bahwa yang menyebabkan diharamkannya operasi
ganti kelamin secara umum atau dalam keadaan normal adalah karena dua alasan :
1)
Hal
tersebut termasuk merubah ciptaan Allah swt, sebagaimana yang tersebut dalam Qs
An Nisa 119, sudah disebut di atas. Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas,
Anas, Ikrimah, dan Abu Sholeh bahwa yang dimaksud merubah ciptaan Allah adalah
mengebiri, mencongkel mata, serta memotong telinga. Sedangkan Imam Qurtubi di
dalam tafsirnya dengan menukil perkataan Qhadhi bahwa seseorang yang mempunyai
jari-jari tangan lebih dari lima atau daging tambahan di dalam tubuhnya, maka
tidak boleh dipotongnya, karena termasuk dalam katagori merubah ciptaan Allah,
kecuali kalau jari-jari tangan atau daging tambahan tersebut terasa sakit,
nyeri dan menyebabkannya menjadi menderita, maka dalam keadaan seperti ini, diperbolehkan
untuk memotongnya. (Tafsir Qurtubi : 5 / 252)
Perkataan Qadhi yang dinukil
oleh Imam Qurtubi di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa sesuatu tambahan
dalam tubuh yang berupa daging atau yang lain dan menyebabkan sakit si
penderita, maka diperbolehkan untuk menghilangkannya, dan hal ini dimasukkan
dalam katagori berobat, yang kadang harus merubah ciptaan Allah swt. Karena
sebenarnya yang dilarang dalam masalah ini adalah merubah ciptaan Allah tanpa
ada alasan syara atau hanya karena ingin memperindah anggota tubuh saja. Tetapi
jika bertujuan untuk mengobati, maka dibolehkan. Atas dasar keterangan di atas,
maka operasi ganti kelamin yang dilakukan oleh orang yang mengidap penyakit
transeksual pada jenis kedua ini, bisa dikatakan bahwa organ tubuhnya secara
fisik yang ada sekarang adalah organ tambahan, karena tidak sesuai dengan
kejiwaan dan perasaannya, sehingga jika dirubah menjadi organ yang sama dengan
kejiwaan dan perasaannya, maka termasuk dalam proses pengobatan dari rasa sakit
yang dialaminya, dan memang tidak ditemukan obat selain operasi ganti kelamin.
2)
Operasi
ganti kelamin termasuk dalam katagori menyerupai jenis lain yang dilarang oleh
Rasulullah saw. Tetapi para ulama telah menjelaskan bahwa yang dilarang dalam
masalah ini adalah menyerupai jenis di dalam berpakaian, berhias, bertutur kata
dan cara berjalan. Hal ini disimpulkan dari dalil nash dan dalil lain. Oleh karenanya, Imam
Nawawi menyatakan bahwa waria yang ada semenjak lahir tidak termasuk dalam
katagori yang dilarang oleh Rasulullah saw, karena mereka tidak bisa
meninggalkan gaya-gaya tersebut yang dibawanya dari lahir,walaupun sudah
diobati berkali-kali, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam
Fathul Bari.
Demikianlah beberapa dalil yang diungkapkan oleh
kelompok kedua yang membolehkan bagi seseorang yang terkena penyakit
transeksual jenis kedua dan tidak bisa diobati lagi secara psikis, maka
dibolehkan untuk melakukan operasiganti kelamin, dan ini termasuk keadaan
darurat.
2.
Operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak
lahir memiliki cacat kelamin, seperti penis atau vagina yang tidak berlubang.
Operasi seperti ini dibolehkan,
karena termasuk dalam katagori pengobatan. Karena pada dasarnya manusia itu
ciptaannya sempurna, maka jika didapati beberapa bagian anggota tubuhnya tidak
normal atau tidak berfungsi, sepertivagina yang tidak berlubang, atau penis
yang tidak berlubang sehingga tidak bisa buang air kecil, maka dibolehkan
baginya untuk melakukan operasi perbaikan kelamin, dengan tujuan agar salah
satu organ tubuhnya tersebut berfungsi sebagaimana yang lain. Rasulullah saw
bersabda : Wahai hamba-hamba Allah berobatlah, karena Allah menjadikan setiap
penyakit itu ada obatnya. Jadi operasi kelamin yang cacat sejak kecil atau
karena suatu kecelakaan termasuk dalam katagori berobat dan bukan dalam
katagori merubah ciptaan Allah swt.
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin
ganda yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki 2 (dua) jenis
kelamin yaitu penis dan vagina
Orang yang mempunyai kelamin
ganda dalam dunia medis disebut ambiguous genitalia yang artinya alat kelamin meragukan.
Orang tersebut tidak menderita penyakit transeksual tetapi lebih cenderung kepada interseksual yaitu
suatu kelainan, dimana penderita memiliki ciri-ciri genetik, anatomik atau
fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Gejalanya sangat bervariasi,
mungkin saja tampilan luarnya adalah laki-laki normal atau wanita normal,
tetapi alat kelaminnya yang masih meragukan apakah dia laki-laki atau
perempuan. Penderita seperti ini memang benar-benar sakit secara fisik, yang
kemudian mempengaruhi kondisi psikologisnya. Maka, Operasi pada orang yang mempunyai
kelamin ganda seperti ini dibolehkan, tentunya setelah ada kejelasaan
statusnya, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara-cara yang telah
diterangkan di atas dan dikuatkan dengan pernyataan para dokter ahli dan
amanah. Biasanya operasi dilakukan ketika anak tersebut masih bayi dan belum
beranjak dewasa, jika sudah dewasa tentunya akan lebih susah lagi, karena
mungkin itu akibat salah pola asuh dan polainteraksi dari lingkungan sekitar.
Karena kalau seseorang dibiarkan dalam status yang tidak jelas, maka sungguh
kasihan hidupnya, dan masyarakatpunkesulitan untuk berinteraksi dengannya
karena statusnya yang belum jelas, apakah dia itu laki-laki atau perempuan.
Oleh karenanya operasi untuk membuang salah satu dari dua jenis kelamin
dibolehkan, karena akan membawa kemaslahatan bagi yang bersangkutan dan
kemaslahatan bagi masyarakat yang ia hidup di dalamnya.
Kaidah hukum menjelaskan bahwa
boleh tidaknya sesuatu hal tergantung juga pada besar kecilnya nafsadah atau
maslahah yang ada. Bila operasi kelamin (contoh) ternyata lebih besar membawa
kebaikan (manfaat) dari pada madharatnya (keburukan) seperti tentang
kejiwaannya, agamanya, sosial kemasyarakatannya, jati dirinya dan kehormatan
dirinya, maka dalam hal ini operasi kelamin boleh hukumnya, dan demikian sebaliknya,
bila ternyata operasi kelamin akan membawa dampak negative yang besar dari pada
keadaannya sekarang, maka operasi kelamin dilarang hukumnya.
Menanggapi masalah operasi
kelamin diatas pendapat pakar hukum Islam sebagai berikut : Hasanain Muhammad
Makhluf (ahli Fiqih Mesir), operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) diperbolehkan secara hukum bahkan dianjurkan
jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk pembuangan
air seni, baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau
menyempurnakannya menjadi kelamin yang normal hukumnya boleh dilakukan karena
kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati Menurut Prof
Drs.Masyfuk Zuhdi (ahli Fiqih Indonesia) orang yang lahir dengan alat kelamin
tidak normal bisa mengalami kelainan fsihis dan sosial, sehingga biasanya
tersisih dari kehidupan masyarakat normal serta mencari jalan sendiri, seperti
melacurkan diri, menjadi wanita atau melakukan homo seksual, padahal perbuatan
tersebut sangat dikutuk oleh Islam. Untuk menghindari hal ini, operasiperbaikan
atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan karena kaidah Fiqih. Artinya ;
Menolak bahaya harus didahulukan daripada mengupayakan manfaat.
Maksudnya, upaya untuk menghindari bahaya yang akan diakibatkan oleh kelainan
kelamin tersebut lebih baik dari pada mengusahakan suatu kemaslahatan,karena
menghindari atau menolak bahaya termasuk suatu kemaslahatan juga.
Operasi kelamin yang dilakukan harus sejalan
dengan keadaan bagian dalam kelamin dan tidak boleh yang berlawanan dengan
bagian dalam kelamin. Sebab operasi kelamin yang berbeda dengan bagian dalam
kelamin bukanlah Tahsin (perbaikan),
tapi termasuk Taghyir atau Tabdil yakni mengubah ciptaan Allah, dan
ini dilarang karena bertentangan dengan Firman Allah ayat 30 surah al Rahman:
“Maka nikmat
Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS. Al Rahman: 30)
2.6 Fatwa
MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa haram bagi siapa saja yang
secara sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah merubah jenis kelamin.
Dengan demikian, Pemerintah dan DPR RI diminta membuat aturan hukum terkait
dengan praktek operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin. Berdasarkan hasil Musyawarah
Nasional (Munas) VIII MUI juga diputuskan tidak boleh menetapkan keabsahan
status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin, sehingga tidak
memiliki implikasi hukum syar`i terkait perubahan tersebut.
Karena tidak boleh ditetapkan
keabsahannya, kata dia, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum operasi
meski sudah mendapat penetapan pengadilan. Sedangkan menyempurnakan kelamin
bagi seorang Khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna
menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi
perempuan.
Atas dasar fatwa tersebut, MUI
merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu
sebagai pedoman untuk memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan
melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan.
Juga, bagi organisasi profesi kedokteran untuk membuat kode etik kedokteran terkait
larangan operasi ganti kelamin dan pengaturan bagi praktek operasi
penyempurnaan kelamin.[7]
2.7
Kedudukan Hukum dari Operasi Perubahan dan Penyempurnaan Kelamin
Pertama:
Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam
kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi
dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak
ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi
kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi
Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis
kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis
kelamin semula sebelum diubah.
Kedua:
Jika operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan atau penyempurnaan dan
bukan penggantian jenis kelamin, maka pada umumnya itu masih bisa dilakukan
atau dibolehkan. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi
untuk mengeluarkan air seni dan/atau sperma, maka operasi untuk memperbaiki
atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin
yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus
diobati.
Ketiga:
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk memperjelas dan
memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh
melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat
kelaminnya.
Tidak
adanya aturan hukum yang jelas yang mengatur mengenai kedudukan pergantian
kelamin ini menyebabkan banyak kesalahan persepsi yang terjadi di kalangan
masyarakat mengenai boleh atau tidaknya melakukan operasi kelamin. Banyak yang
berpendapat bahwa melakukan operasi pergantian kelamin itu sah-sah saja karena
itu merupakan hak asasi tiap orang. Namun, jika perubahan kelamin itu hanya
untuk menuruti hasrat atau kemauan dari subjek itu sendiri, maka berarti dia
telah menyalahi dan berusaha untuk mengubah apa yang telah dikodratkan Tuhan
kepadanya.
2.8
Akibat Operasi Perubahan dan Penyempurnaan
Kelamin
Tidak hanya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, operasi
penggantian jenis kelamin juga dapat menimbulkan masalah hukum bagi subjek yang
melakukan operasi itu sendiri. Masalah hukum yang paling umum timbul atau
dipermasalahkan adalah mengenai hukum waris. Dengan adanya pergantian kelamin
yang dilakukan oleh seseorang, maka secara langsung akan mempengaruhi
kedudukannya dalam pembagian harta warisan, terutama jika orang yang
bersangkutan adalah seorang muslim. Dengan bergantinya jenis kelamin seseorang
dari pria menjadi wanita ataupun sebaliknya maka kedudukan dan haknya sebagai
penerima waris juga akan berganti.
Dalam
hal ini, kejelasan mengenai jenis kelamin seseorang sangat diperlukan. Jika
terjadi kasus seperti yang telah disebutkan di atas (seseorang yang memiliki
alat kelamin ganda), maka akan sulit ditentukan apakah ia memperoleh bagian
warisan seperti layaknya bagian pria atau wanita. Maka agar tidak terjadi
kekeliruan, operasi penggantian kelamin sebaiknya dilakukan.
2.9 Pencegahan terhadap Operasi Kelamin
Menurut
standar care The Herry Benjamin International Gender Dyspheria Assocition,
yaitu:
1)
Subjek
ditangani oleh psikolog atau psikiater yang berpengalaman dalam maslah gender.
Pada tahap ini diberikan segala informasi yang harus diketahui dan dibutuhkan
oleh subjek, termasuk apa yang mungkin dicapai, prosedur, apa yang tidak
mungkin dicapai, dan konsekuensi penyesuaian gender atau operasi yang akan
dilakukan.
2)
“Two
years real life diagnostic test”, disini individu diharuskan untuk menjalanikehidupan
total dengan peran gender yang diinginkan selama paling tidak dua tahun. Pada
masa ini dilakukan terapi hormon dan menjalani konsultasi psikolog. Setiap 3
bulan dan hidup dalam peran gender baru, setiap kasus dididskusikan oleh sebuah
tim sebelum operasi diijinkan. Hanya subjek yang mengalami kepuasan atau
merasakan terbebaskan dari masalh gendernya, yang diijuinkan menjalani operasi.
Jika masih ada keraguan, operasi diundur sampai kondisi yang diinginkan
terpenuhi.
3)
Jika
semua kriteria diatas terpenuhi, transeksual diijinkan menjalani serangkaian
operasi yang dibutuhkan.[8]
DAFTAR PUSTAKA
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/problematika%20hukum%20waria.pdfhtp://www.badilag.net/data/ARTIKEL/problematika%20hukum%20waria.pdf,
diakses pada tanggal 7 Oktober 2010
pukul 12.05 WIB.
http://ahmadzain.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=235,
diakses pada tanggal 7 Oktober 2010
pukul 12.17 WIB.
http://www.jambiindependent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=9777:mui-tetap-haramkan-operasi-gantikelamin&catid=25:nasional&Itemid=29,diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul
12.18 WIB.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/07/27/60838/MUI-Haramkan-Operasi-Ganti-Kelamin,
diakses pada tanggal 7 Oktober 2010
pukul 12.33 WIB.
http://eprints.undip.ac.id/14977/1/2005B4B003121.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010
pukul 12.45 WIB.
http://zulpiero.wordpress.com/2010/06/11/77/,
diakses pada tanggal 15 November 2010 jam 22.16
[1] http://eprints.undip.ac.id/14977/1/2005B4B003121.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul 12.45 WIB.
[2]
Ibid
[3] http://ahmadzain.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=235, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul 12.17 WIB.
[4] http://istikuma.wordpress.com/2010/03/19/hukum-operasi-ganti-kelamin-dalam-islam/
diakses pada Kamis, 15 Desember 2010, 13.41 WIB
[6]http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/problematika%20hukum%20waria.pdfhtp://www.badilag.net/data/ARTIKEL/problematika%20hukum%20waria.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul 12.05 WIB.
[7] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/07/27/60838/MUI-Haramkan-Operasi-Ganti-Kelamin, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul 12.33 WIB.
[8] http://eprints.undip.ac.id/14977/1/2005B4B003121.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 pukul 12.45 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar