ASKEP Penyakit Lupus (Sistem Imun dan Hematologi)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penyakit lupus berasal
dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau “Serigala,”
merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan
terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah berkepanjangan,
kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak
hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah
satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu ciri
paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan
seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus
benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.
Sistem imun normal akan
melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan
lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun
menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut
penyakit autoimun.
Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita,
misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi,
paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini
dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika
Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka
disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh
sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus
yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ
tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka
gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi
bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat
rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit
lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen
Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat
350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga
berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan,
dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang
timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya
tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal,
kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
proses penyakit lupus tersebut ?
2. Bagaimanakah
tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon perawat, bila
menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?
C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Penulisan
a) Tujuan
Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami
penjabaran tentang penyakit lupus.
b) Tujuan
Khusus :
1) Mampu
menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit
lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala),
prognosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit
lupus.
2) Mampu
menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita
penyakit lupus.
2. Manfaat
Penulisan
a) Manfaat
Teoritis :
1) Sebagai
bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit
lupus
2) Sebagai
bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.
b) Manfaat
Praktis :
Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi
pembaca khususnya seorang perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji
laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun
asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep
Dasar
Penyakit lupus termasuk
penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk
melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan
autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh
yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem
pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan
tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal
akan menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr.
Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus
belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi berbagai faktor
seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada
sistem kekebalan yang pada mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman
dan musuh, kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri)
dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut,
kemudian zat anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya
serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut.
Ada berita dari Jerman
yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim dalam sel yang
bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak
bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran
DNA masih ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk zat anti. Dengan cara
penyakit ini mengganggu kesehatan, maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga
menyerang beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa
sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ
tubuh telah mengalami kerusakan parah.
Gejala penyakit lupus
sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul. Disamping itu
mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi
ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat
cairan sehingga timbul sesak napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada
seorang penderita lupus. Penderita lupus mungkin hanya mengalami beberapa
gejala saja.
Gejala lainnya adalah
perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering demam, sering
sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini
dikemukakan oleh Prof. Handono Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology
Association (IRA) (Antar News, 2012).
Seperti yang diungkapkan
dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah sebutan umum dari
suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus
Erythematosus.
Dalam istilah sederhana,
seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus saat tubuhnya
menjadi alergi pada dirinya sendiri.
Penyakit ini dalam ilmu
kedokteran disebut Systemic
Lupus Erythematosus (SLE),
yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal
manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah
kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang
asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah
ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut
sebagai autoimmune disease (penyakit dengan kekebalan tubuh
berlebihan).
Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis
(kelompok), yaitu :
1. Penyakit
Lupus Diskoid
Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus
yang terbatas pada kulit.Klien dengan
lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan
ruam yang muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi
organ internal.
Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya
sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.
2. Penyakit
Lupus Sistemik
Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid,
penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus sistemik yang memengaruhi
organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung.
Lupus jenis ini sering ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif)
dan periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif). Tidak ada cara untuk
memperkirakan berapa lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa
pasien lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa
pasien lain suar datang dan pergi berulang kali selama bertahun-tahun.
3. Drug
Induced Lupus (DIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena
pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep
tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling
sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat
aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan
sekitar 400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti
mengkonsumsi obat pemicunya.
Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang
terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir dan bayi baru lahir
dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena
serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan
pertama kehidupan anak.
Penyakit lupus ini
bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok sehingga
rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring
posisi apa pun sakit. Biasanya untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi
jika menggunakan morfin efeknya tidak baik, jadi sering kali penderita
berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika menyerang darah, darahnya akan
mengental dan tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan
mungkin lebih parah, daya tahan tubuh penderita menurun drastis, sehingga
penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.
Penyakit lupus ini dapat
menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti penyebab penyakit
ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai
usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para
ilmuwan bahwa hormon wanita (hormon estrogen) mungkin ada hubungannya dengan
penyebab penyakit lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10
orang penderita penyakit lupus adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah
lingkungan, stress, obat-obatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari.
Pada kehamilan dari
perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan
yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal
saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk
gejala penyakit lupus. Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu
hamil atau setelah melahirkan.
Kebanyakan kasus memiliki
latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena sebelumnya, namun
dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit
lupus telah banyak diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi
hanya dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan sebagai fakta.
Sampai saat ini, Lupus
masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali lupus yang
disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan
bahkan masih berlangsung mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau
kombinasi dari beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar 90% penderita lupus
adalah perempuan, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait
hormon-hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan melahirkan dapat memicu
timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien lupus menderita penyakit ini di usia antara 15
sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.
Biasanya odipus (orang
hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya
kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar
matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat
tertentu. ( sumber
wikipedia indonesia)
Saat ini tidak ada tes
tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit lupus.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang
mempertimbangkan semua gejala dan riwayat penyakit.
Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American
Rheumatism Association (ARA)
menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus” untuk membantu dokter mendiagnosis lupus
dan yang diperbaharui tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%.
Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4
atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis,
arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami
kerusakan
2. Tes
ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian
obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak
Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar,
atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif
bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan
pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit
5. Bercak
diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah
satu Kelainan darah :
a) anemia
hemolitik,
b) Leukosit
< 4000/mm³,
c) Limfosit<1500/mm³,
dan
d) Trombosit
<100.000/mm³
7. Salah
satu Kelainan Ginjal :
a) Proteinuria
> 0,5 g / 24 jam,
b) Sedimen
seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah
merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah
satu Serositis :
a) Pleuritis,
b) Perikarditis
9. Salah
satu kelainan Neurologis :
a) Konvulsi
/ kejang,
b) Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang
dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi :
a) Sel
LE+
b) Anti
dsDNA diatas titer normal
c) Anti
Sm (Smith) diatas titer normal
d) Tes
serologi sifilis positif palsu
B. Pengobatan
Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal
Jika sudah terkena Lupus
harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah ini tim penulis
juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara herbal
alami dengan kombinasi produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1. XAMthone
Plus
2. Madu
Cerna
3. Teh
Murbei
4. Kapsul
MGL Super
Madu Cerna fungsinya
menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang sehingga nanti bisa
menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk menormalkan
sistim kekebalan tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh
Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal yang sudah rusak
yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh.
Perlu diketahui ginjal adalah benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena
semua zat-zat yang masuk ke dalam tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan
XAMthone Plus akan memperbaiki sistem-sistem secara keseluruhan.
BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Defenisi
Penyakit Lupus
Penyakit lupus adalah
penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh pasien lupus
membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri,
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan
organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus
yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit
yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat
dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal
dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat kulit
seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain
ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan
kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus
erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun
dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus
eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem yang
penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).
B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang
merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum
diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan
obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di
kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita
mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih
dalam kajian.
C. Patofis
(Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi
akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE
dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang
tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan
tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya
munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu
ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah
hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi
yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non
histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral
semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear
antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada
SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake kompleks
imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen
pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya
mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis
pada individu yang resisten.
D. Manifestasi
Klinis
Jumlah dan jenis antibodi
pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi
ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana
yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada
setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang
ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap
penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa
kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ,
tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem
Muskuloskeletal
a) Artralgia
b) artritis
(sinovitis)
c) pembengkakan
sendi,
d) nyeri
tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e) rasa
kaku pada pagi hari.
2. Sistem
Integument (Kulit)
a) Lesi
akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi, dan
b) Ulkus
oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem
kardiak
a) Perikarditis
merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem
pernafasan
a) Pleuritis
atau efusi pleura.
5. Sistem
vaskuler
a) Inflamasi
pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b) eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem
perkemihan
a) Glomerulus
renal yang biasanya terkena.
7. Sistem
saraf
a) Spektrum
gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
E. Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat
diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi
kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir
dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit
ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya,
jika inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh
penggunaan suatu obat, penghentian obatakan menyembuhkan lupus, walaupun
penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.
F. Evaluasi
Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit
ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan
Laboratorium
a) Tes
Anti ds-DNA
ü Batas
normal : 70 – 200 IU/mL
ü Negatif : < 70 IU/mL
ü Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80%
penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah
yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis
kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan
dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari
Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang
menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded
DNA (anti ss-DNA). Anti
ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak
hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun
sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
ü Harga
normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan
penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang
bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi
adanya SLE, hasil yang
positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE
saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA
yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga
jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu
negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB
(La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes
Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya
yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada
penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus
antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan
C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar,
kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan
Penunjang
a) Ruam
kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen
dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan
dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa
air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau
+++.
e) Hitung
jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi
ginjal.
g) Pemeriksaan
saraf.
G. Tinjauan
Pengobatan
Tujuan dari pengobatan
SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan
kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan
pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta
memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari
terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik
setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual
tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi
terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000), sebagai
berikut :
1. Terapi
nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul
pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara
istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE
sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga
merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet
yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak
ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat
menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan
sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi
paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di
luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi
farmakologi
Terapi farmakologi untuk
SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya
pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi
yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama
untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin,
interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan
pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa
lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,
2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna,
ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan
inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non
selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50%
(Neal, 2002).
Terapi pada SLE
didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang
timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID
yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID
yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID
tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya
sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat
digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif
digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa
mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan
antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan
aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria
dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami
regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon
yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai
manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan
tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali
per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat
(Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan
manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan
obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.
Beberapa pasien yang mengalami lupus
eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan
kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme
kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah
fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2
serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi
ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme,
dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah
untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki
parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang
timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3
sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang
sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison
secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid
secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam
beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4
sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa
manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik,
abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih
sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan
lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi
sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan
gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol
selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari.
Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan
tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan
pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan
penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi
insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit
tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau
serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan
NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar
selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk
melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk
mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga
diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama
penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab
kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima
kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi
kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil
dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE
terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin
D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk
pengobatan penyakit yang berat
dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan
mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel.
Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T,
dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan
menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai
imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh
karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan
platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval
pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi
remisi penyakit.
Siklofosfamid juga
menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada
penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas
end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada
penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan
mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik.
Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang
produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi
hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA)
merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini
kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun,
dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja
dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan
IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan
untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in
vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan
dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang
infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,
dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi
dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima
kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik
golongan kuinolon,
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan
penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE
(Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan
pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
H. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
(prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam
dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS
(Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan
(Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid,
diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh,
bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis
riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah,
nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada
kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a) Friction
rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem
Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa
nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem
integumen
a) Lesi
akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
b) Ulkus
oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem
pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem
vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang
menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan,
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
8. Sistem
Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem
saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga
serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Uraian
Masalah Keperawatan
a) Nyeri
b) Kerusakan
intergritas kulit
c) Isolasi
sosial
d) Kerusakan
mobilitas fisik
e) Keletihan/kelelahan
f) Perubahan
Nutrisi
g) Kurang
Pengetahuan
Sumber diagnose diatas di ambil dari
beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
2. Diagnosa
Keperawatan
a) Nyeri
berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
C. Intervensi
(Rencana Tindakan)
1. Diagnosa
Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan
:
1) Gangguan
nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan
dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria
Hasil :
1) Skala
Nyeri : 1-10
c) Rencana
Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
ü Mandiri
:
1) I :
Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas
(skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa
derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat
selama penggantian balutan dan debridemen.
2) I :
Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada
udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat
menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
3) I :
Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh
hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka
bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
4) I :
Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau
pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan
emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
5) I :
Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan
emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6) I :
Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas
dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan
ketergantungan farmakologis.
7) I :
Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri
yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
ü Kolaborasi
8) I :
Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.
2. Diagnosa
Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan
:
1) Pemeliharaan
dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria
Hasil :
1) Kulit
dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana
Tindakan dan Rasional
ü Mandiri
1) I :
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan
lesi dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan
pada status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2) I :
Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan
lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit
yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) I :
Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan
risiko kerusakan dermal.
4) I :
Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan proses penyembuhan.
ü Kombinasi
:
5) I :
gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
3. Diagnosa
Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan
:
1) Memberikan
informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang
terdekat (bila tidak ada keluarga).
b) Kriteria
Hasil :
1) Klien
dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang
diberikan
c) Rencana
Tindakan dan Rasional
1) I :
Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana
pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2) I :
Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
3) I :
Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada
otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I :
Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan
untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
5) I :
Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat
perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan
perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit
lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit
ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara
berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab
penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga
yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar
ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga
penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Penyakit
ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru
perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke
organ-organ.
B. Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan
beberapa saran :
1) Perlu
mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan
baik sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit
ini untuk menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2) Perlu
mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
3) Perlu
mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.
SEKILAS INFO
Ø Fotosensitif
adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila
terkena sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak
nyaman dan tidak enak.
Ø Estrogen
(atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama
sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun
wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.
Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria.
Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria memeliki kadar yang lebih
sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu wanita usia
subur)
Ø Radang
(bahasa Inggris: inflammation)
adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam
jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau
inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan
iritasi.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku
Kedokteran
Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah
Berbagai Penyakit Hidup Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :
EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk
Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali
Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4).
Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi
Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC
sumber lain :
http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 13.45 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 9.00 WITA
http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 11. 00 WITA
http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html , diakses pada tanggal 8 Desember 2012 jam 9.30 WITA
http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 14.00 WITA
http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10.45 WITA
http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15.00 WITA
http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15. 45 WITA
http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15. 45 WITA
http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh editor Aditia Maruli, diakses pada tanggal 7
Desember 2012, jam 10. 30 WITA
http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 11. 00 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar